Jumat, 27 Mei 2011

“Dari Kawasan Labu Rope Labu Wana, Kita Bangkitkan Peradaban Bahari” Arung Sejarah Bahari VI, Sulawesi Tenggara






Waktu setempat menunjukkan 17.20, satu jam lebih cepat dari waktu Jakarta. Pesawat mendarat di Bandara Betoambari, kota Baubau membawa 100 orang peserta dan panitia di tanah Buton. Pertunjukkan tari daerah dipersembahkan untuk menyambut kedatangan kami beserta Gubernur Sulawesi Tenggara. Dari tanggal 26 sampai dengan 30 April 2011, saya beserta 65 mahasiswa dari Universitas se-Indonesia akan mengikuti Arung Sejarah Bahari (Ajari) VI yang pada tahun ini dilaksanakan di pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ajari merupakan bagian dari program tahunan yang diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah dibawah Kementrian Budaya dan Pariwisata (Kemenbudpar) dengan mengikut sertakan mahasiswa terbaik dari masing-masing Universitas yang berasal dari berbagai disiplin ilmu dari seluruh Indonesia. Saya dari departemen Arkeologi FIB-UI bersama Rosidi Rizkiandi (Ilmu Sejarah FIB-UI), dan Aisyah Ilyas (Hubungan Internasional FISIP-UI) menjadi duta delegasi dari UI untuk kegiatan ini.

Sejarah telah mencatat di jazirah Sulawesi Tenggara terdapat kesultanan Buton, kerajaan Muna. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah ini telah membangun peradaban sejak ratusan tahun yang lalu. Karena itu daerah Buton kaya akan peninggalan sumber daya sejarah budaya dan didukung keindahan alam yang berpotensi besar menjadi obyek wisata. Berdasarkan prinsip kesultanan Buton yang sekaligus menjadi tema Ajari VI, yaitu Labu Rope Labu Wana yang artinya berlabuh ke depan dan berlabuh ke belakang, kegiatan ini bertujuan menumbuhkembangkan jiwa dan semangat kebaharian dari sudut pandang historis di kalangan generasi muda dengan menjelajah wilayah Buton, Sulawesi Tenggara.

Kota Baubau

Selama rangkaian kegiatan Ajari VI berlangsung, kota Baubau menjadi basecamp tempat kami menginap. Kota Baubau merupakan kota terbesar di pulau Buton. Setelah seluruh peserta beristirahat sejenak di Hotel, kami segera diantar ke acara HUT Sultra ke-47 di Kantor walikota Baubau. Acara HUT ini dihadiri oleh Gubernur Sultra dan seluruh Pejabat daerah. Acara HUT Sultra sekaligus menjadi acara penyambutan kami. Acara ini diramaikan oleh pertunjukan kesenian daerah dan persembahan masakan khas dari seluruh daerah di Sultra, namanya “kande-kandea,“ yang artinya makan-makan. Keesokan harinya rombongan peserta Ajari mengunjungi komplek Benteng Keraton Wolio tidak jauh dari Hotel tempat menginap. Benteng Keraton Wolio tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,3 hektar. Benteng ini merupakan pusat pemerintahan kesultanan Buton yang berdiri pada abad ke-16. Benteng ini tersusun dari batu-batu berwarna gelap dengan tinggi benteng sekitar 4 meter. Satu hal yang membedakan Benteng Wolio dengan Benteng-benteng lain yang terdapat di Indonesia adalah, Benteng Wolio dibangun oleh kesultanan Buton bukan oleh Pemerintahan kolonial. Benteng ini berdiri di atas bukit sehingga dahulu benteng ini merupakan tempat pertahanan terbaik. Dari tepi benteng kami dapat menikmati pemandangan kota Baubau dan laut selat Buton dari ketinggian, sungguh pemandangan yang menakjubkan.

Pada sore harinya seluruh peserta mengikuti serangkaian acara seminar nasional di Aula Kantor walikota Baubau. Seminar ini dihadiri oleh Pemda Baubau dan Gubernur Sultra. Pembicara dalam seminar ini ialah Prof. Dr Taufik Abdullah (Peneliti Utama LIPI), Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Guru Besar Ilmu Sejarah FIB-UI), dan Drs. Surya Helmi (Direktur Peninggalan Bawah Air), dengan moderator Kennedy Nurhan (Wartawan Senior Kompas). Seminar ini membahas tentang sejarah bahari Sultra dan peninggalan bawah air sebagai bagian dari sejarah kemaritiman Indonesia. Setelah makan malam, seluruh peserta city tour di pantai Kamali sambil menikmati suasana malam dengan secangkir saraba hangat, yaitu minuman khas kota Baubau.

Pulau Muna

Pulau Muna menjadi salah satu destinasi dari rangkaian kegiatan Ajari VI. Dengan menaiki kapal cepat Sagori Ekspress, seluruh peserta sampai di pulau Muna dalam 2 jam. Sesampainya di pulau Muna, kami mendapat sambutan adat dari Disbudpar Muna. Sepanjang perjalanan kami di pulau Muna disuguhi panorama alam hijau dan tebing-tebing batu karst yang mengagumkan. Mobil bus membawa kami ke kawasan Cagar Budaya Goa prasejarah, yang disebut Liang Kobori. Goa Liang Kobori yang memiliki kedalaman horizontal 50 meter ini menyimpan ratusan bentuk lukisan prasejarah berusia sekitar 5.000 tahun. Perjalanan di pulau Muna dilanjutkan ke obyek wisata danau Napabale. Danau Napabale adalah danau air asin seluas 4 hektar yang terletak di Kabupaten Muna. Kami menyantap makan siang sambil menikmati indahnya pemandangan danau Napabale yang dihiasi oleh rindangnya pepohonan yang hijau.

Kabupaten Buton

Kabupaten Buton berjarak sekitar 38 km dari kota Baubau, di sini kami mengunjungi komunitas masyarakat Bajo di desa Berese, kecamatan Wabula. Masyarakat Bajo di desa Berese merupakan salah satu bagian dari komunitas besar masyarakat Bajo yang tersebar di Asia Tenggara. Keunikan dari komunitas Bajo adalah, mereka tidak dapat terlepas dari kehidupan di laut. Hidup dan tumbuh orang-orang Bajo adalah di atas laut, bermata pencaharian sebagai nelayan dan mendirikan rumah di atas permukaan laut. Komunitas Bajo di desa Berese sudah berbaur dengan masyarakat Buton pada umumnya dan beberapa dari mereka tinggal di daratan. Selain mengunjungi komunitas Bajo, kami pun mengunjungi pertambangan aspal di kabupaten Buton. Pertambangan aspal Buton dibangun sejak tahun 1925 dan masih berlangsung hingga saat ini. Ketersediaan cadangan aspal Buton diperkirakan seluas 70.000 hektar.

Pada hari berikutnya kami mengunjungi sentra tenun rakyat tradisional di kelurahan Sulaa dan sentra budidaya mutiara di kelurahan Palabusa. Keunikan dari budidaya mutiara disini ialah bentuk mutiara yang dihasilkan bisa dibentuk sesuka hati dengan cara menanam cetakan sejak masih bibit.

Pulau Makasar

Muncul pertanyaan dalam benak kami, mengapa pulau yang letaknya tak jauh dari kota Baubau ini disebut pulau Makasar. Konon, pulau ini oleh orang Buton dahulu disebut Liwuto, akan tetapi pada abad ke-17 pulau ini dijadikan tempat pembuangan tawanan kerajaan Gowa dari Makassar, oleh sebab itu pulau ini disebut pulau Makasar. Perjalanan dari kota Baubau ke pulau Makasar ditempuh sekitar 20 menit perjalanan dengan menumpang perahu lokal. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi indahnya pemandangan laut biru dan ikan-ikan yang berlompatan di atas permukaan laut. Kami mengunjungi perkampungan masyarakat pulau Makasar dan menyaksikan proses pembuatan perahu nelayan dan kerajinan-kerajinan pertukangan kayu. Setelah itu kami menyantap lezatnya ikan bakar dan menu hidangan laut lainnya di atas pasir putih pantai pulau Makasar.

Perpisahan

Penutupan dari serangkaian acara Ajari VI diadakan di Rumah dinas Walikota Baubau. Beberapa peserta Ajari VI menampilkan kesenian dari daerahnya masing-masing. Acara ditutup dengan pemberian penghargaan oleh Direktur Geografi Sejarah, bapak Drs. Endjat Djaenuderadjat kepada 5 orang peserta pemakalah dan kelompok terbaik sepanjang Ajari VI berlangsung. Tanpa terasa satu pekan di tanah Buton sudah kami lewati. Besok adalah hari minggu, tanggal 1 Mei artinya malam ini kita harus packing, check out Hotel dan kembali ke dalam rutinitas di Kampus masing-masing. Rasanya berat meninggalkan teman-teman yang selama satu pekan becanda bersama, berdiskusi, dan bertukar pikiran. Kami merasa menemukan sahabat dan keluarga baru dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Setiap pertemuan pastilah ada perpisahan, tapi dibalik itu ada kisah dan kenangan manis yang tak akan kami lupakan. Pertemuan kami di Ajari VI merupakan awal untuk membangun kekayaan potensi sumber daya budaya dan sejarah Indonesia. Kami pun akan pulang ke daerah masing-masing dengan membawa banyak cerita dan pengalaman yang kami dapatkan di tanah Buton.

1 komentar:

  1. Mantap..!!!
    Jgn bosan2 ke Buton ya....
    Kalo ada waktu jln2 lg ke Buton...

    BalasHapus