Kamis, 09 Juni 2011

MEMBANGUN BANGSA MARITIM: Membangun Potensi di Pulau Brass, Kabupaten Supiori, Papua





I. Indonesia: Negara Maritim
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.500-an dan panjang pantai 81.000 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Indonesia memiliki sumber daya laut melimpah yang kaya akan hasil laut, seperti ikan, terumbu karang, keragaman ekosistem biologi, wisata bahari, dan sumber energi dan mineral terbarukan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Letak geografis Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudera, sehingga menjadikan Indonesia sebagai jalur perhubungan laut dunia.
Pada tanggal 13 Desember 1957 melalui Deklarasi Djuanda, Indonesia mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi Djuanda merupakan awal dari pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau. Pada mulanya, prinsip negara kepulauan tidak disetujui oleh beberapa negara anggota PBB, akan tetapi pada tahun 1982 berdirilah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). UNCLOS resmi berlaku pada tahun 1994. Indonesia pun mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km² ditambah dengan 2,7 juta km² ZEE yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya.
Konsep negara kepulauan yang dipegang Indonesia memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memanfaatkan anugerah Sumber Daya Laut yang luar biasa, serta mengukuhkan jati diri bangsa Indonesia. Sebutan Tanah air dan Nusantara bagi bangsa kita menyatakan jati diri bangsa kita adalah bangsa maritim, karena wilayah Nusantara terdiri dari tanah (daratan) dan air (lautan).
II. Permasalahan Indonesia sebagai Negara Maritim
Luasnya perairan Indonesia menimbulkan permasalahan terhadap pengawasan perbatasan dengan negara-negara tetangga. Jumlah pulau di Indonesia yang puluhan ribu jumlahnya menjadi faktor utama permasalahan yang dihadapi. Beberapa pulau dan kepulauan Indonesia berada jauh dari pulau utama sehingga disebut “pulau terluar.” Kebijakan penanganan dan batas pulau terluar tercantum di PP no. 38 tahun 2002. Berdasarkan penilaian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), terdapat beberapa isu pengembangan kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar , yaitu:
1. Garis batas kedaulatan negara yang berada di laut ditentukan dengan keberadaan pulau-pulau kecil (PPK) terluar
2. Banyak PPK terluar yang tidak berpenghuni
3. Kualitas sumber daya manusia di kawasan perbatasan masih terbatas
4. Banyaknya daerah tertinggal dan terisolir di Kawasan Perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar
5. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat di Kawasan Perbatasan Negara dengan negara tetangga
6. Rawan terhadap illegal logging, ilegal fishing, ilegal trading, human tracking dan ancaman lainnya
Sulitnya akses untuk menuju pulau-pulau terluar tersebut menjadikan penduduk lokal terisolasi. Beberapa negara tetangga berbatasan langsung dengan wilayah perairan Nusantara, di wilayah barat perairan Nusantara berbatasan dengan perairan India. Banyak nelayan asal aceh sering mendatangi pulau Nicobar di perairan India. Jarak pulau Sekatung di Kepulauan Natuna terlalu dekat (245 mil) dengan pulau Condork di perairan Vietnam, sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Pulau Sebatik, kepulaun sekitar Sipadan dan Ligitan berbatasan langsung dengan perairan Malaysia yang memiliki perbedaan pemahaman rezim kelautan, lalu Singapura yang selalu melakukan reklamasi. Perbatasan wilayah perairan di Kepulauan Natuna pun seringkali menimbulkan perdebatan atas perbedaan pandangan terhadap batas wilayah. Wilayah perairan di Indonesia bagian tengah pun muncul masalah klasik, yaitu perdebatan batas wilayah dengan Filipina di utara, lalu Australia dan Timor Leste di selatan. Wilayah perairan Indonesia bagian Timur pun serupa, karena belum adanya perjanjian yang jelas mengenai batas ZEE di Kepulauan Mapia, Maluku utara dengan negara Palau, sedangkan pada perbatasan dengan Papua New Guinea di ujung timur Nusantara, timbul permasalahan dari aspek kultural.
Perebutan dan ketidak jelasan mengenai batas-batas wilayah perairan mungkin menjadi permasalahan utama Indonesia sebagai negara maritim. Selain itu, Indonesia tidak memiliki armada laut yang kuat dan memadai untuk mengawasi perairan Indonesia yang begitu luas. Indonesia pun mengalami permasalahan mengenai pengelolaan sumber daya alamnya, karena sebagian besar ekonomi penting seperti perkebunan, hasil laut, pertambangan, tanah, Bank, pelayaran, penerbangan, dan telekomunikasi dikuasai asing. Permasalahan lain yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa maritim, yaitu krisis identitas. Indonesia di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris, padahal kultur negara agraris merupakan kultur yang diberikan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada masa kolonialisme, karena Belanda mengeruk hasil bumi berupa hasil pertanian, yaitu rempah-rempah dan bukannya hasil laut.
III. Membangun Bangsa Maritim
Pakar geopolitik Friedrich Ratzel mengatakan, setiap bangsa harus mempunyai konsepsi tentang ruang hidup bangsa, letaknya, luasnya, dan batas-batasnya. Runtuh dan pecahnya bangsa adalah akibat menyusutnya konsepsi ruang hidup. Maka, sesuai dengan paradigma Wawasan Nusantara, laut adalah pemersatu bangsa yang menghubungkan pulau-pulau yang tersebar di Nusantara. Keberadaan ratusan etnik di Nusantara dipisahkan oleh pulau dan lautan, sehingga laut merupakan unsur dominan dalam struktur kewilayahan Indonesia. Indonesia seharusnya merupakan Negara maritim.
Bila dibandingkan dengan Negara-negara kepulauan lain di dunia, tidak ada yang sebesar dengan sumber daya laut sekaya Indonesia. Sudah sepantasnya Negara Indonesia tumbuh dan maju dengan kekuatan yang berasal dari sumber daya lautnya. Untuk mewujudkan hal itu, Indonesia harus menjadi Negara maritim. Berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman perlu disusun dan dideklarasikan serta kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia harus dijadikan arus utama pembangunan nasional, tanpa terpengaruh oleh dominasi persepsi dan kepentingan daratan. Dewan Kelautan Nasional perlu di tempatkan pada hierarki yang lebih tinggi di pemerintahan, sehingga memiliki kewenangan lebih luas dalam mengembangkan potensi kelautan. Konsep negara maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya.
Pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita untuk memperkuat posisi geopolitik negara dan menghindari sengketa kewilayahan. Apabila terwujud, maka kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan yang berbasis sumber daya alam, budaya, dan ilmu pengetahuan.
IV. Membangun Potensi di Pulau Brass
Indonesia memiliki sumber daya laut yang sangat melimpah, serta didukung oleh letak geografis Indonesia yang strategis menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur utama perdagangan dunia. Perdagangan dunia 90 persen dilakukan lewat laut dan 40 persen perdagangan dunia melewati perairan Indonesia. Hal tersebut merupakan potensi besar bagi kepulauan di Nusantara untuk bisa dikenal oleh dunia karena berada di jalur perairan yang strategis.
Salah satu potensi yang mungkin dikembangkan adalah membangun wisata bahari dengan memanfaatkan perairan dan kepulauan di Nusantara. Indonesia bisa menjadi tujuan wisata bahari terkemuka di dunia. Perairan Indonesia bisa dikembangkan dengan menjadi tempat bermain kapal Cruises dunia, tempat yachting, diving, dan leisure yang atraktif. Potensi tersebut bukanlah hal yang mustahil dengan kekayaan hayati perairan Indonesia yang melimpah.
Pulau Brass adalah salah satu pulau terluar Nusantara yang memiliki potensi besar untuk dibangun menjadi lokasi wisata bahari. Pulau Brass terletak di kepulauan Mapia, sebelah utara Kabupaten Supiori. Secara geografis, letak pulau Brass berada di koordinat 0˚ 55’ LU & 134ยบ 19’ BT. Kepulauan Mapia terdiri dari empat pulau yaitu Pulau Brass, Pulau Fanildo, Pulau Pegun, dan Pulau Faniroto. Pulau Brass dan Fanildo berada paling luar dan berbatasan lansung dengan perairan Republik Palau (AS) di Samudera Pasifik. Dari keempat pulau tersebut, hanya Pulau Brass yang berpenduduk. Berdasarkan hasil survey ekspedisi pulau terluar yang dilakukan oleh WANADRI, di Pulau ini terdapat 40 Kepala Keluarga dan satu pleton Satuan Tugas Pengamanan Pulau Terluar (SATGASPAM) Marinir TNI AL. Penduduk Pulau Brass bermata pencaharian sebagai petani kopra dan nelayan. Penduduk Pulau Brass berasal dari Biak. Awalnya mereka mendiami Pulau Pegun. Namun karena wabah lalat yang menjangkiti pulau itu, akhirnya penduduk pindah ke Pulau Brass. Diare dan muntaber penyakit yang ditimbulkan wabah tersebut. Morfologi Pulau Brass berupa karang yang berbentuk setengah lingkaran. Terdapat celah masuk berupa laguna di barat. Arus bawah laut di sekitar pulau ini cukup kencang. Pada saat surut, perahu nelayan tak bisa mendarat. Pulau Brass dan Pulau Fanildo berjarak 120 mil laut dari Biak. Perjalanan laut dari Biak ke Pulau Brass memakan waktu kurang lebih 18 jam.
Pulau Brass terletak pada jalur pengembangan wisata bahari Menado – Ternate – Raja Ampat – Biak – Jayapura. Dari segi geografis, pulau Brass menjanjikan potensi wisata alam, seperti rekreasi pantai dengan pemandangan alam yang eksotis dan olahraga air, seperti memancing, parasailing, surving, dan lain-lain. Untuk mewujudkannya memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Inventarisasi, dengan menetapkan keberadaan lokasi, trayek, kondisi alamiah, sarana, prasarana, valuasi dan sertifikasi aset untuk di jadikan inventory
2. Perencanaan, mencakup renstra usaha tiap lokasi dan integrasi dengan wilayah pusat penduduk terdekat, yaitu pulau Biak
3. Pengorganisasian, yaitu dengan memilih pengusaha professional melalui tender, lalu membentuk badan usaha, dan menetapkan kepastian bagi hasil (saham) yang mencakup pengelola, pekerja, rakyat, dan pemerintah daerah
4. Pelaksanaan, yaitu fasilitasi modal, fasilitasi ijin, sarana, dan prasarana, lalu pengoprasian usaha di lapangan
5. Pengendalian, yaitu monev produksi, pemasaran, keuangan oleh lembaga independen, dan pelibatan masyarakat
Langkah-langkah tersebut harus sejalan dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah sudah membangun konsep bangsa maritim yang sebenarnya dengan penjaga laut dan perbatasan yang sejati, dalam arti memadai di semua bidang, yaitu pertahanan, keamanan, dan armada. Untuk membangun potensi wisata di pulau Brass tentu memerlukan keikutsertaan penduduk setempat. Kehidupan penduduk pulau Brass sebagai nelayan bisa menjadi daya tarik tersendiri, tentunya apabila hal ini terwujud akan membawa kemajuan dan kesejahteraan drastis untuk pulau terluar seperti pulau Brass. Hanya saja muncul pertanyaan mendasar, siapa yang akan memulainya? Siapa yang akan sadar akan keberadaannya? Sedangkan pemerintah sendiri tidak akan bertindak sejauh itu untuk membangun pulau Brass karena pulau-pulau yang harus dibangun jumlahnya banyak sekali.
Semua pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan adanya peran serta dari mahasiswa-mahasiswa yang memiliki intelektualitas yang mampu membangun negara ini. Dengan peran aktif mahasiswa yang sadar akan keberadaan pulau Brass, maka membangun potensi wisata bahari di pulau ini bukan mustahil. Apabila berhasil, dengan berbagai potensi dan daya tarik yang ada, saya yakin pulau Brass akan menjadi lokasi wisata bahari yang terkemuka di dunia.


DAFTAR REFERENSI

Arsana, I Made.(2007). Batas Maritim Antar Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada
Gadjah Mada University Press

Purdijatno, Tedjo Edhy.(2010). Mengawal Perbatasan Negara Maritim. Jakarta:
PT Grasindo

Wahyono, SK.(2009). Indonesia Negara Maritim. Jakarta: Teraju

http://www.92pulau.com/

http://docs.google.com/

http://batas.bappenas.go.id

Rabu, 08 Juni 2011

PENGGUNAAN KERAKAL PADA PEMUKIMAN MASYARAKAT MAJAPAHIT


I. Pendahuluan
Pada tanggal 20 sampai dengan 27 Juni 2010, saya melakukan ekskavasi dalam rangka kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) arkeologi. Kegiatan tersebut dilangsungkan di Situs Umpak Sentonorejo, dukuh Kedaton, desa Sentonorejo, kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pada bagian sisi sebelah timur Situs tersebut merupakan Sektor ekskavasi yang saya lakukan bersama dengan kelompok besar yang tergabung dalam KKL arkeologi. Dalam Sektor telah terpasang tali yang membentuk garis sumbu kuadran yang berorientasi tepat ke arah utara, barat, selatan dan timur. Garis sumbu tersebut dijadikan acuan dalam mementukan grid layout kotak gali yang berukuran 2x2 meter. Titik pusat perpotongan sumbu pada Sektor tersebut dijadikan sebagai datum primer dengan ketinggian 39,39 mdpl (meter dari permukaan laut). Pada tahun 2009 pernah dilakukan ekskavasi serupa di dalam Sektor tersebut, jadi ekskavasi yang kami lakukan kali ini merupakan usaha untuk melanjutkan kegiatan ekskavasi sebelumnya untuk meneliti sebaran temuan di dalam Sektor ini. Berikut saya uraikan secara singkat hasil kegiatan ekskavasi yang kami lakukan:
Pada kegiatan KKL ini, saya tergabung dalam kelompok III yang beranggotakan 5 orang. Kami memutuskan untuk membuka kotak AE’23 dengan mengacu pada kotak AE’24 yang terletak bersebelahan di sebelah timur. Kotak AE’24 merupakan kotak yang pernah digali tahun 2009, kotak ini digali sampai kedalaman 38,83 mdpl atau 56 cm dari ketinggian datum primer sektor. Pada penggalian di Kotak AE’24, ditemukan struktur bata yang tersebar di bagian sisi timur laut kotak. Struktur bata tersebut berorientasi dari tenggara ke arah barat laut. Selain ditemukan struktur bata, di kotak AE’24 terdapat sebaran kerakal yang mendominasi permukaan dasar kotak. Temuan kerakal tersebut tersebar secara menyeluruh dan teratur. Temuan kerakal pada kotak AE’24 itulah yang membuat kami tertarik dan menjadi referensi kami untuk membuka kotak di sebelah barat kotak AE’24 yaitu kotak AE’23. Kami ingin melihat kesinambungan sebaran kerakal tersebut.
a. TRW/KDT/AE’23/2010
Pada kotak AE’23, kami menggali sebanyak 7 lot. Lot ○7 memiliki kedalaman terendah 47 cm atau 38,81 mdpl dari datum primer kotak yang memiliki ketinggian 39,28 mdpl. Datum primer kotak AE’23 terletak di sudut barat laut. Pada kotak AE’23 ditemukan temuan berupa potongan bata berukuran kecil serta pecahan genteng, tembikar dan keramik. Pada lot ○1 ditemukan temuan logam tidak dikenal yang bentuknya mirip dengan pengait jendela, temuan logam ini ditutupi oleh karat di seluruh bagian permukaannya. Pada lot ○6ditemukan temuan uang logam yang dikenal dengan uang kepeng cina karena terpahat huruf cina pada permukaannya. Pada bagian dasar permukaan kotak AE’23 ini sesuai dengan referensi dari kotak AE’24, kami menemukan sebaran potongan bata yang letaknya tidak beraturan di sisi utara dan tenggara kotak, dan sesuai rencana utama kami, terdapat sebaran kerakal yang menutupi seluruh permukaan kotak gali. Kami duga sebaran kerakal di kotak AE’23 merupakan kesinambungan sebaran yang berorientasi pada kotak AE’24 yang menjadi referensi awal kami.
b. TRW/KDT/AE’22/2010
Setelah mencapai lot ○7 di kotak AE’23, kami memutuskan untuk membuka kotak AE’22 yang terletak di sebelah barat kotak AE’23. Kami ingin melihat sejauh mana kesinambungan sebaran kerakal yang berorientasi pada kotak AE’23 dan AE’24. Dp kotak AE’22 terletak pada sudut barat laut kotak dengan ketinggia 39,28 mdpl. Pada kotak AE’22, kami menggali sebanyak 3 lot dengan kedalaman terendah di lot ○3 adalah 45 cm atau 38,83 mdpl. Sama seperti di kotak AE’23, di kotak AE’22 ditemukan potongan bata berukuran kecil serta pecahan genteng, tembikar dan keramik. Sesuai dengan dugaan kami, orientasi sebaran kerakal dari kotak AE’23 dan AE’24 berkesinambungan dengan kotak AE’22, bahkan pada kotak AE’22, kerakal tersebar secara teratur dan menyeluruh menutupi seluruh permukaan dasar kotak gali AE’22.

II. Analisa sebaran kerakal
Sebaran kerakal yang di temui di kotak AE’24, AE’23 dan AE’22 bahkan berlanjut hingga ke arah utara dan barat laut yaitu kotak AD’22 dan AD’21. Akan tetapi, pada kotak AD’21 dan AD’22 sebaran kerakal hanya di temui pada sisi selatan dan barat daya. Kotak AD’21 dan AD’22 didominasi oleh sebaran srtruktur bata yang keletakannya memiliki orientasi tenggara-barat laut. Pada Situs Lantai segi enam juga ditemukan sebaran kerakal yang tersusun rapi dan dibatasi oleh struktur bata yang memanjang menyerupai jalan setapak. Selain di Situs Lantai segi enam, temuan sebaran kerakal juga di temukan pada Situs penggalian di sekitar Gedung PIM (Pusat Informasi Majapahit), Situs Sumur Upas dan situs-situs pemukiman Majapahit lainnya yang tersebar di sekitar wilayah kecamatan Trowulan. Pada Situs pemukiman Majapahit di sekitar Gedung PIM, ditemui temuan sebaran batu kerakal yang tersusun dengan rapi yang dikotak-kotakkan dengan ukuran bervariasi. Saya lihat rata-rata lebih dari 4x4 meter. Sebaran kerakal tersebut dibatasi oleh struktur bata berorientasi arah tenggara-barat laut yang diperkirakan sebagai pondasi dari bangunan. Pondasi bangunan tersebut mungkin adalah pondasi rumah dan sebaran kerakal yang dibatasi oleh struktur pondasi tersebut kemungkinan adalah bagian dari halaman rumah. Saya lihat berdasarkan temuan batu kerakal yang ditemukan dari berbagai situs di Trowulan, saya menarik analisa secara garis besar sebaran temuan batu kerakal yang terdapat pada kotak AE’24, AE’23 dan AE’22 di Sektor yang terletak di dalam Situs Umpak Sentonorejo memiliki kemiripan. Sesuai dengan struktur bata yang terdapat pada kotak AD’22 dan AD’21 yang menjadi batas dari sebaran kerakal juga memiliki orientasi arah tenggara-barat laut, sama persis dengan yang dijumpai di Situs-situs pemukiman yang tersebar di kecamatan Trowulan. Struktur bata yang ditemukan di kotak AD’22 dan AD’21 tersebut mungkin adalah pondasi dari sebuah bangunan karena memiliki orientasi lebih jauh ke arah utara. Saya tidak bisa menyimpulkan temuan sebaran batu kerakal yang terdapat di kotak AE’24, AE’23 dan AE’22 apakah merupakan bagian dari halaman rumah atau sebuah jalan setapak, karena untuk mengetahui itu, harus membuka kotak-kotak gali di sebelah selatan, di sebelah timur dan di sebelah barat yang sampai saat ini belum pernah dibuka untuk melihat sampai sejauh mana kesinambungan sebaran temuan batu kerakal itu berlanjut.

III. Fungsi batu kerakal di dalam arsitektur masa kini
Penggunaan batu kerakal dalam arsitektur bangunan masih populer hingga saat ini. Pada zaman modern saat ini penggunaan batu kerakal lebih kearah kebutuhan artistik bangunan. Penggunaan batu kerakal dalam arsitektur bangunan saat ini tidak hanya digunakan pada bagian lantai atau halaman rumah, tetapi juga batu bisa digunakan untuk bagian dinding rumah, atau hiasan. Penggunaan batu pada bangunan rumah membuat suasana terasa natural dan teduh. Pada pembahasan kali ini perhatian tertuju pada penggunaan batu kerakal dalam halaman rumah atau untuk jalan setapak. Batu kerakal digunakan sebagai objek pendukung untuk menghias halaman. Batu-batu kerakal disebar dengan tersusun rapi secara merata dihalaman, menjadikan halaman rumah terkesan sejuk. Selain itu, penggunaan batu kerakal untuk halaman rumah juga berfungsi untuk relaksasi kaki (Solehuddin: 2009) dan menjadikan halaman rumah selalu tampak bersih. Penggunaan batu kerakal untuk halaman rumah relatif lebih ekonomis dibandingkan dengan pemasangan paping blok atau batu templek. Penggunaan batu kerakal untuk jalan setapak saat ini biasanya tampak di lokasi-lokasi wisata alam, terutama lokasi wisata di pegunungan. Jalan setapak yang berkelok-kelok dan membentuk tangga biasanya memakai batu kerakal sebagai bahan pendukung utama sehingga memberikan sugesti kepada pengunjung agar terasa sangat alami.
Batu kerakal yang digunakan tentu saja bukan sembarang batu. Batu kerakal yang digunakan untuk halaman rumah biasanya adalah jenis batu kali atau batu bronjol yang memiliki tekstur halus dan keras berbentuk bulat-lonjong dengan warna umum abu-abu gelap. Begitu pun dalam penggunaannya sebagai susunan jalan setapak, karena jenis batu kali ini mudah didapat dan relatif ekonomis. Penggunaan batu kerakal sebagai bahan pendukung dalam arsitektur bangunan masa kini fungsinya lebih ke arah artistik yang saat ini sedang populer tema ‘back to nature’ (Solehuddin: 2009).

IV. Fungsi batu kerakal di dalam pemukiman masa Majapahit
Wilayah negara Indonesia memiliki banyak gunung berapi sehingga kaya akan jenis batuan, salah satunya adalah batuan beku. Batuan beku adalah batuan yang terbentuk dari lava yang keluar dari dalam perut bumi kemudian membeku di atas permukaan bumi. Batu andesit termasuk ke dalam kategori batuan beku. Salah satunya batu kali berupa batu kerakal yang banyak digunakan dalam pemukiman pada masa Majapahit tergolong batuan andesit. Masyarakat Majapahit dulu mudah mendapatkan batu-batu tersebut karena di Pulau Jawa terdapat banyak sekali gunung berapi. Candi-candi yang dibangun di Pulau Jawa kebanyakan tersusun dari jenis batuan andesit. Karena batu andesit melimpah, masyarakat Majapahit dulu memanfaatkannya dalam pembangunan pemukiman masyarakat. Terutama batu kerakal yang sudah dibahas sebelumnya, digunakan pada halaman rumah dan jalan setapak. Batu kerakal disebar di halaman atau jalanan setapak hingga menutupi seluruh permukaan tanah. Tidak jauh berbeda dengan fungsinya dalam arsitektur bangunan masa kini, pada masa pemukiman masyarakat Majapahit sebaran kerakal tersebut mungkin berfungsi agar halaman rumah tampak rapi, tidak berdebu di musim kemarau dan tidak becek di musim hujan (Sumber: Pusat Informasi Majapahit, Trowulan), begitu pun berfungsi sama sebagaimana digunakan untuk jalanan setapak. Tampak pada hasil kotak penggalian, batu-batu kerakal disusun dengan rapi dan padat sehingga tidak mudah terlepas dari permukaan tanah, hal itu menunjukkan batu-batu kerakal menjadi bahan utama yang menyusun permukaan jalanan setapak dan halaman rumah, dan mungkin pada saat itu menjadi tradisi masyarakat Majapahit karena sebaran batu kerakal banyak dijumpai di berbagai Situs di Trowulan.


V. Kesimpulan
Permukaan halaman rumah dan jalanan setapak pada pemukiman masyarakat Majapahit ditutupi oleh batu kerakal. Batu kerakal berfungsi agar halaman rumah tampak rapi, tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak becek pada musim hujan begitupun halnya berfungsi sama pada penggunaannya di jalanan setapak. Batu kerakal yang biasa digunakan pada masa pemukiman masyarakat Majapahit adalah batu kali atau batu bronjol yang tergolong ke dalam kategori batuan andesit dengan bentuk bulat-lonjong berwarna umum abu-abu gelap.
Belum diketahui fungsi sebenarnya dari sebaran kerakal yang dijumpai di kotak AE’22, AE’23 dan AE’24 apakah sebaran kerakal dari sebuah halaman rumah atau jalanan setapak. Untuk mengetahuinya harus mengekskavasi lebih banyak kotak ke arah selatan untuk menampakkan sampai sejauh mana batas kesinambungan sebaran batu-batu kerakal tersebut.


Sumber referensi:

Wijaya, Irwan. dan Titut Wibisono., Batu Alam, Ragam dan Fungsi untuk
Bangunan (Jakarta: Griya Kreasi, 2006)

Solehuddin., Kreasi Unik Batu Alam (Jakarta: Griya Kreasi, 2009)

KAKAWIN RAMAYANA


Ringkasan cerita:
Pada suatu ketika, hiduplah seorang raja bernama Prabu Dasarata yang memerintah negeri Ayodya yang luas dan subur. Prabu Dasarata memerintah dengan bijaksana. Sang Prabu memiliki tiga orang permaisuri, yaitu Kausalya, Kaikayi dan Sumitra. Kausalya berputera Ramawijaya. Kaikayi berputera Barata, dan Sumitra berputera kembar yaitu, Laksmana dan Satrugna. Sifat dan watak para putera itu pun sangat terpuji. Dikisahkan Ramawijaya merupakan penjelmaan dari Batara Wisnu, ia ksatria yang pandai berperang dan jago memanah.
Suatu hari Maharaja Janaka yang bertahta di negeri Matilireja mengadakan sayembara. Siapa yang mampu mengangkat busur Sang Raja dan melengkungkannya hingga patah, maka ia akan dinikahkan dengan Sita, puterinya. Berpuluh-puluh pangeran dan ksatria mengikuti sayembara, tapi tak ada satu pun yang kuat mengangkat busur Sang Raja. Ramawijaya dan Laksmana yang mendengar berita sayembara itu, pergi ke Matilireja untuk mengikuti sayembara. Setibanya di Matilireja, Ramawijaya dengan mudahnya mengangkat dan mematahkan busur Sang Raja yang sangat besar tersebut. Prabu janaka pun lalu menikahkan Sita dengan Ramawijaya. Setelah menikah, Ramawijaya dan Sita tinggal di Istana negeri Ayodya.
Raja Dasarata merasa usianya telah lanjut berniat menyerahkan mahkota kerajaan kepada Rama. Semua pembesar Negara dan rakyat setuju dengan keputusan itu kecuali permaisuri Kaikayi, ia menagih janji kepada Raja Dasarata yang ketika meminangnya berjanji untuk mengangkat puteranya, Barata sebagai penerus tahta kerajaan. Permaisuri Kaikayi menuntut agar Rama dan sita diasingkan ke dalam hutan Dandaka selama empat belas tahun. Raja Dasarata pun menyanggupi tuntutan Sang Permaisuri. Rama tetap tenang ketika mendengar perintah pengasingan dan memenuhi perintah ayahandanya. Dengan diiringi ratap tangis para abdi istana, berangkatlah Rama dan Sita menuju hutan Dandaka. Laksmana yang amat mencintai kakaknya ikut pula dalam pengembaraan itu.
Raja Dasarata pun wafat, Barata dan Satrugna yang pada saat itu sedang berada di negeri Kaikeya segera kembali ke negeri Ayodya. Barata dan Satrugna sangat sedih mendengar berita pengasingan Rama dan Sita. Barata menolak untuk diangkat menjadi Raja. Barata dan Satrugna pun pergi ke hutan Dandaka untuk mencari Ramawijaya agar kembali pulang ke negeri ayodya dan menduduki singgasana. Rama menolak permintaan Barata, ia tetap memenuhi perintah ayahandanya sampai akhir. Barata diperintahnya kembali ke negeri Ayodya untuk meneruskan tahta kerajaan. Sekembalinya di negeri Ayodya, Barata memerintah atas nama kakaknya, Ramawijaya.
Selama pengasingannya, Rama, Sita dan Laksmana selalu berbuat kebaikan, menolong orang-orang dari raksasa-raksasa jahat dan mengabdikan hidupnya bagi perikemanusiaan.. Rama mendirikan sebuah pondok kayu di tengah hutan Dandaka. Suatu hari di hutan Dandaka kedatanga raksasi Sarpakenaka, puteri negeri Langkapura yang di temani oleh dua raksasa pengawal, Kara dan Dusana. Sarpakenaka tertarik pada Rama yang berwajah tampan, lalu ia menjelma menjadi Puteri yang cantik jelita dan menggoda Rama. Rama yang setia kepada Sita menolaknya. Sarpakenaka pun lalu pergi menggoda Laksmana, Laksmana sama sekali tidak tertarik padanya dan malah melukai hidung dan telinga Sarpakenaka.
Sarpakenaka yang terluka lari ke negerinya Langkapura lalu mengadu kepada kakaknya, Dasamuka Rahwana. Rahwana segera terbakar hatinya, ia hendak membalas dendam terhadap Rama dan Laksmana sekaligus menculik Sita. Rahwana menyuruh Marica, anak buahnya untuk menjelma sebagai seekor kijang kencana dengan tanduk yang bertahtakan berlian. Sita yang melihat kijang tersebut meminta Rama untuk menangkapnya hingga mengejarnya ke dalam hutan. Selagi Rama mengejar kijang, Laksmana diperintahkan untuk menjaga Sita dan dilarang untuk meninggalkannya seorang diri. Kijang itu pun segera terkena panah Rama dan menjerit menirukan suara Rama meminta pertolongan. Sita yang mendengar jeritan itu menyuruh Laksmana untuk menolong Rama, akan tetapi Laksmana menolak dan tetap menaati perintah Rama untuk tidak meninggalkan Sita. Sita terus memaksa dan pada akhirnya dengan berat hati Laksmana pergi menolong Rama. Tak lama kemudian muncullah seorang petapa tua yang berjalan terhuyung-huyung karena kehausan. Sita pun segera memberinya minum, tapi petapa tua itu segera berubah wujud menjadi Rahwana yang menyatakan hendak memperistri Sita. Sita menolaknya dan segera meringkus Sita lalu membawanya terbang ke negeri Langkapura.
Sita terus berontak dan menjerit lalu datanglah seekor burung Garuda bernama Jatayu yang merupakan sahabat Rama untuk menolong Sita. Jatayu menyerang Rahwana hingga Rahwana kesal dan menghunus senjata lalu Jatayu pun terluka parah, sebelum terjatuh, Jatayu dititipkan cincin oleh Sita.
Rama dan Laksmana terkejut ketika kembali ke pondoknya dan menyadari Sita menghilang. Mereka pun menjelajahi rimba belantara mencari Sita hingga Rama melihat Jatayu yang sekarat memegang cincin yang dititipkan Sita. Jatayu menceritakan kejadian tersebut kepada Rama sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Rama dan Laksmana meneruskan perjalanannya sampai suatu hari mereka tiba di suatu telaga. Selagi Rama dan Laksmana beristirahat di pinggir telaga, tiba-tiba datang seekor buaya yang menyambar. Rama dan Laksmana yang sigap segera membunuh buaya itu. Buaya itu ternyata penjelmaan Bidadari yang mendapat kutukan Dewa. Kini Bidadari itu terbebas dari kutukan dan terbang kembali ke Khayangan. Bidadari itu pun berterimakasih dan berpesan agar pergi ke hutan Pancawati untuk mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan Sita.
Maka berangkatlah Rama dan Laksmana ke hutan Pancawati. Mereka berjalan sangat jauh menembus gunung, hutan dan pantai. Sampai suatu ketika mereka berteduh di bawah pohon rindang disambut oleh seekor Kera putih yang bijaksana bernama Hanuman yang berasal dari Pancawati. Hanuman bercerita kepada Rama bahwa rajanya Sugriwa berada di hutan Pancawati karena terusir dari kerajaan Kiskenda oleh kakaknya yang bernama Subali. Hanuman memohon agar Rama membantu Sugriwa agar kembali menduduki tahta kerajaannya. Mereka pun pergi menemui Sugriwa. Rama dan Laksmana bertemu dengan Sugriwa. Setelah masing-masing bercerita, mereka merasa senasib karena berada dalam pengasingan. Sugriwa berjanji akan membantu Rama mencari Sita.
Sugriwa dan Rama pergi ke kerajaan Kiskenda diiringi oleh Hanuman dan ribuan ekor kera. Sesampainya di kerajaan Kiskenda, Sugriwa menantang Subali untuk bertarung, kemudian bertarunglah kedua kakak beradik itu dengan sengitnya disaksikan oleh ribuan kera. Pada saat Sugriwa sedang terdesak, mata panah Rama segera menghunus dada Subali hingga Subali rubuh. Sugriwa segera menyembah Rama dan mempersilakan Rama untuk menjadi raja di Kiskenda, namun Rama menolaknya. Menurut Rama, sudah sepantasnya Sugriwa kembali menduduki tahta kerajaannya. Rama berpesan agar Anggada, putera Subali diangkat anak oleh Sugriwa, dan Dewi Tara, yaitu ibu Anggada diangkatnya sebagai permaisuri Sugriwa. Sugriwa dan seluruh kera menyembah Rama.
Sugriwa berkata kepada para kera, bahwa sebagai balas budi kepada Rama, maka seluruh bala tentara kera Kiskenda harus ikut mencari Sita yang diculik Rahwana ke berbagai penjuru. Bala tentara pun segera dikerahkan dan memulai pencarian menembus hutan belantara, semak-semak, jurang, dan gunung namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Sugriwa teringat pada sebuah pulau di selatan yang belum pernah dijelajah. Hanuman diserahi tugas untuk meninjau keadaan pulau itu. Sebelum Hanuman berangkat, Rama menitipkan cincin Sita agar menjadi bukti mewakili Rama.
Hanuman pergi dengan cepatnya ke arah selatan. Sesampainya di pantai selatan, Hanuman yang merupakan putera Dewa Bayu bersemedi memohon pertolongan angina untuk diterbangkan ke pulau Langka. Setibanya di pulau itu, Hanuman berjalan diam-diam agar tidak diketahui oleh para raksasa. Akhirnya tibalah Hanuman di sebuah taman yang indah permai. Hanuman melihat seorang puteri yang cantik jelita sedang duduk seorang diri di dalam taman itu. Wajah puteri itu terpekur sayu dan pucat. Hanuman yakin puteri itu pastilah Sita, isteri Rama. Hanuman segera menemui Sita menunjukkan cincin yang ditipkan Rama sambil menyembah. Hanuman bercerita bahwa Rama dengan bantuan raja Sugriwa akan datang menggempur Langkapura. Sebelum Hanuman undur diri, Sita menitipkan hiasan rambutnya agar disampaikan kepada Rama.
Sebelum meninggalkan kerajaan Langkapura, Hanuman merusak taman istana hingga membuat marah para raksasa. Hanuman membuat marah Indrajit, putera mahkota Langkapura dengan mengejeknya dari atas pohon. Indrajit segera mengangkat panah pusakanya, nagapasa dan menghunus Hanuman hingga panah itu melilit tubuhnya. Hanuman pun dibawa menghadap Rahwana ke dalam istana. Betapa marah Rahwana melihat seekor kera putih yang merupakan utusan Rama. Rahwana lalu hendak membunuhnya, namun adik Rahwana, yaitu Wibisana dengan bijaksana mencegahnya dan meminta agar hanuman dikembalikan kepada raja yang mengutusnya. Rahwana menjadi semakin murka, Wibisana diusir untuk meninggalkan Langkapura dan memerintahkan para prajurit raksasa untuk membakar Hanuman di trngah alun-alun. Hanuman pun dibakar hidup-hidup, namun tubuhnya sama sekali tidak terbakar malah api itu merambat ke istana hingga menimbulkan kebakaran besar.
Sebelum meninggalkan Langkapura, Hanuman menemui Wibisana untuk mengajaknya menghadap Rama. Wibisana menyetujui ajakan Hanuman dan pergi menuju kerajaan kera Kiskenda. Tiba di hadapan Rama, Hanuman menceritakan semua yang terjadi dan menyampaikan hiasan rambut yang dititipi Sita. Hanuman juga mengenalkan Wibisana kepada Rama.
Rama segera meminta Sugriwa agar menyiapkan balatentara kera. Balatentara Kiskenda yang terdiri dari puluhan ribu kera itu pun berangkat untuk menggempur negeri Langkapura. Balatentara kera tertahan di pantai selatan karena kesulitan mengarungi samudra dengan ombak dan gelombang yang besar. Rama segera menghunus panah pusaka ke dalam samudra hingga membuat air laut mendidih, para hewan laut pun mengerang kesakitan. Tiba-tiba muncul Dewa Baruna yang menguasai samudra dan meminta belas kasihan Rama, agar air samudra yang mendidih kembali seperti sedialakala. Rama bersedia memenuhi permintaan Dewa Baruna dengan syarat Dewa Baruna harus bersedia menyebrangkan balatentara kera menuju pulau Langka. Dewa Baruna menyanggupinya, dan menyarankan agar membuat jembatan batu yang menghubungkan garis pantai dengan pulau Langka. Rama melepaskan panah pusaka dari dalam samudra hingga keadaan samudra pulih kembali.
Sugriwa segera memerintahkan para prajurit kera untuk memebangun jembatan batu, ikan-ikan dan semua makhluk laut pun turut membantu. Jembatan batu itu sangat kuat dan tinggi hingga bisa dilewati oleh puluhan ribu bala tentara kera.
Sejak lolosnya Hanuman dari kerajaan Langkapura, Rahwana telah memerintahkan balatentara raksasa untuk menjaga pantai pulau Langka karena sudah menduga bahwa suatu ketika Rama beserta balatentara kera pasti akan datang menyerang. Para prajurit raksasa yang tengah berjaga di tepi pantai melihat ke arah permukaan laut muncul jembatan batu yang sangat besar dengan kera-kera yang tengah sibuk membuat jembatan itu. Raksasa-raksasa segera naik perahu hendak menyerang para prajurit kera, tapi para prajurit kera lebih berani dan tangkas bertarung. Semua prajurit raksasa penjaga pantai dikalahkannya.
Seluruh balatentara kera dibawah pimpinan Rama segera menuju pantai pulau Langka melewati jembatan batu yang sangat kokoh tersebut. Segenap makhluk lautan menjaga dasar jembatan atas perintah Dewa Baruna, sehingga sampailah Rama dan seluruh balatentara kera di kerajaan Langkapura dengan selamat. Perang hebat pun terjadi antara prajurit kera dan para raksasa. Pasukan raksasa Langka bertempur dengan dipimpin oleh Indrajit. Akhirnya Indrajit tewas dalam pertempuran itu dan balatentara raksasa terdesak oleh gempuran-gempuran pasukan kera. Rahwana yang menyaksikan itu mengutus adiknya, yaitu Kumbakarna untuk memimpin perang. Kumbakarna adalah raksasa yang bijaksana, ia bertempur bukan untuk membela kakaknya yang sedang angkara murka, namun untuk membela negerinya tercinta Langkapura. Dalam pertempuran yang dipimpin Kumbakarna pun lagi-lagi pasukan raksasa terdesak oleh pasukan kera yang dipimpin oleh Hanuman. Kumbakara pun turut tewas sebagai pahlawan negeri dalam pertempuran itu hingga hanya menyisakan pertarungan terakhir antara Rama dan Rahwana. Rama bertemu dengan Rahwana, merekapun bertempur dengan sengitnya. Dengan panah sakti Guawijaya, Rama membunuh Rahwana hingga tewas. Jenazah Kumbakarna dan Rahwana disempurnakan dengan membakarnya, Wibisana menangis menyaksikan kematian kakak-kakaknya.
Hanuman mengantar Rama ke Taman Langkapura untuk bertemu istrinya, yaitu Sita. Sita menyambut kedatangan Rama dengan gembira, namun Rama tampak tidak bahagia. Rama menuduh Sita sudah tidak suci lagi selama tinggal di Langkapura. Sita pun sedih dan menangis mendengarnya. Lalu Rama memerintahkan raksasa-raksasa untuk mengumpulkan kayu bakar dan membakar Dewi Sita, istrinya sendiri. Rama melakukan itu untuk membuktikan kesucian Dewi Sita, apabila Dewi Sita tidak terbakar api, maka terbukti ia masih suci. Api pun dinyalakan, Dewi Sita dilalap api, namun tidak terbakar sedikit pun, api sama sekali tidak menyentuh kulitnya. Akhirnya, hilanglah semua keraguan Rama. Dewi Sita menjadi bertambah cantik dan bercahaya. Rama dan Sita pun bersatu kembali. Sorak sorai pasukan kera Kiskenda dan para raksasa mengiringi kepulangan Rama, Sita dan Laksmana.
Cerita Ramayana memiliki unsur positif yang mendidik. Cocok menjadi bahan cerita rakyat untuk segala usia. Akhir cerita pun berakhir dengan bahagia. Drama, perjuangan, kepahlawanan, kesetiaan, pengorbanan tersaji dalam cerita ini. Unsur penokohan dalam cerita ini terbagi 2 yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis diantaranya adalah Rama, Sita, Laksmana, dan Hanuman yang memiliki sifat baik hati, saling percaya, dan saling menyayangi, dengan tokoh utamanya, yaitu Rama yang memiliki wajah rupawan dan kesaktian untuk menolong yang lemah dan membasmi kejahatan. Tokoh antagonis diperankan oleh Rahwana yang memiliki wajah menyeramkan dengan tabiat yang jahat, tetapi penilaian saya terhadap Rahwana, tokoh ini memiliki jiwa yang sangat kesatria dan jantan. Rahwana menghadapi Rama dengan kekuatannya sendiri, sedangkan Rama berhasil mengalahkan Rahwana dengan bala bantuan pasukan kera yang notabene bisa disebut mengandalkan ‘rakyat jelata.’
Cerita Ramayana merupakan cerita rakyat yang berasal dari naskah kuna pada masa hindu dan buddha. Naskah aslinya berasal dari India yang merupakan sumber dari kedua agama tersebut. Terdapat beberapa perbedaan cerita asli dari India dengan cerita yang diadopsi oleh orang-orang Indonesia. Tetapi secara garis besar, ceritanya tetap sama. Cerita Ramayana masih diperdebatkan oleh para ahli apakah bisa diuji kebenarannya atau tidak. Beberapa penelitian dan fakta ilmiah telah ditemukan yang mengarah kepada keberadaan jembatan yang menghubungkan jalur laut menuju daratan Alengka atau Langkapura. Jembatan yang ditemukan oleh para ahli menghubungkan daratan Manand Island (Srilanka) dengan Pamban Island (India). Jembatan ini berada di kedalaman 1,5 meter dari permukaan laut, sehingga apabila air laut sedang surut maka jembatan ini akan tampak nyata. Jembatan alami ini disebut sebagai ‘Sri Rama Bridge.’ Penelitian lebih jauh masih terus dilakukan oleh para ahli Arkeologi UNESCO di bawah naungan PBB. Bisa dikatakan, bukti naskah cerita Ramayana tidak bisa disimpulkan semuanya hanya sekedar fiksi belaka dengan adanya berbagai penemuan yang mendukung bukti-bukti kebenaran mengenai kisah Ramayana. Mungkin saja, kisah Ramayana adalah cerita sejarah yang pernah terjadi dengan bentuk peristiwa yang serupa sehingga tersirat dalam kitab Ramayana. Hanya saja untuk menjadi kisah yang ilmiah, beberapa kejadian atau penokohan yang berada diluar ranah ilmiah harus disingkirkan. Contohnya, keberadaan Hanuman bisa diganti dengan tokoh Jendral besar yang tangguh. Kebenaran kisah Ramayana ini masih menunggu hasil penelitian lebih lanjut. Kita tunggu saja.


Kepustakaan:
D.M, Sunardi. 1991. Ramayana. Jakarta: Balai Pustaka.
Santoso, Suwito. 1973. Lilaracana-Ramayana. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Ratmoyo & Abas. 1981. Ramayana. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Republik Indonesia.

ANALISA UNSUR NILAI SITUS PEMUKIMAN MAJAPAHIT DI TROWULAN


I. Pendahuluan
Trowulan adalah situs pemukiman masyarakat kerajaan Majapahit kuna dari abad ke-13 sampai abad ke-16. Situs Trowulan dahulu diperkirakan sebagai ibukota kerajaan Majapahit. Penelitian dan ekskavasi di situs trowulan telah dilakukan sejak tahun 1976 oleh instansi terkait. Areal Trowulan berukuran 9 x 12 km ini menyimpan kekayaan peninggalan di masa kejayaan kerajaan Majapahit. Beberapa bagian areal situs telah diekskavasi dan menampakkan tinggalan-tinggalan bekas pemukiman masyarakat berupa struktur dan runtuhan bangunan. Saat ini di Trowulan telah berdiri gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang menyediakan berbagai informasi mengenai Majapahit, penelitian dan data-data terkini serta memamerkan artefak-artefak peninggalan kerajaan Majapahit.
Trowulan sebagai situs pemukiman kuna terbesar di Indonesia sangat menarik untuk dibahas. Saat ini telah banyak hasil penelitian dan ekskavasi yang dilakukan di sana. Hasil ekskavasi yang pernah dilakukan di banyak Sektor di Situs Trowulan memperlihatkan tinggalan-tinggalan struktur bangunan yang masih intact dengan tanah. Tinggalan-tinggalan struktur dan reruntuhan bangunan berupa batu dan bata memperlihatkan pola dasar dari bentuk bangunan hunian yang dahulu pernah berdiri.

II. Profil Situs Trowulan
Desa Trowulan terletak sekitar 10 km dari kota Mojokerto, atau sekitar 60 km di sebelah barat daya Kota Surabaya, Jawa Timur. Situs ini berada pada ketinggian 30-40 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan sekitar 2-3%. Secara geografis, situs ini terletak pada 70° 30’ - 70° 41’ lintang selatan dan 112° 18’ - 112° 28’ bujur timur (PIM:2010). Situs Trowulan memiliki cakupan area seluas 100 km². Banyak sekali bangunan-bangunan kuna yang masih berdiri hingga saat ini. Wujud bangunan yang masih tersisa antara lain berupa bangunan candi, pintu gerbang kerajaan, kolam pemandian, bangunan kanal air, bangunan waduk, bangunan kanal, sumur kuno, makam kuno, sisa bangunan pendopo, sisa pemukiman kuno hingga sisa bangunan rumah. Selain peninggalan berupa bangunan, ratusan ribu artefak Majapahit berupa koin mata uang, batu bata, batu umpak, batu lumpang, genting, pecahan tembikar, celengan, miniatur arca terakota, hingga keramik cina tersebar di seluruh penjuru Trowulan.
Bangunan-bangunan kuna dan situs yang telah diekskavasi diantaranya, Candi Wringin Lawang, Candi Brahu, Candi Gentong, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Kedaton, Candi Minak Jinggo, Candi Grinting, Pendopo Agung, Kolam Segaran, Situs Lantai Segi Enam, Alun-alun Watu Umpak, Makam Puteri Campa, Makam Troloyo, dan Siti inggil (PIM: 2010).

III. Analisa Unsur Nilai
Situs Trowulan sebagai situs pemukiman kuna terbesar di Indonesia tentunya memiliki potensi yang sangat besr. Terutama dipandang dari sudut sejarahnya, situs pemukiman Trowulan diidentifikasi sebagai situs pemukiman ibukota kerajaan Majapahit kuna yang telah dikenal akan kejayaannya diseantero Asia Tenggara dari abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Hasil temuan dan peninggalan-peninggalan di situs ini banyak menggambarkan kebesaran kerajaan Majapahit kuna. Dari peninggalan-peninggalannya dapat menunjukkan kepada masyarakat bagaimana kondisi sosial, budaya, dan kehidupan masyarakat Majapahit kuna. Untuk membangun potensi besar dari situs ini, maka perlu mengkajinya dari sudut pandang unsur-unsur nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu unsur nilai guna, nilai solidaritas sosial/integrasi, nilai penelitian, nilai rekreasi/pariwisata, nilai kesenian, nilai pendidikan, nilai ekonomi, nilai legitimasi, dan nilai presentasi simbolis.
III.1 Nilai Guna
Situs Trowulan sebagai situs pemukiman kuna secara fisik banyak menghasilkan tinggalan-tinggalan berupa bangunan cagar budaya, sektor, dan monumen bersejarah. Saat ini, tinggalan-tinggalan tersebut beberapa telah selesai direkonstruksi dan yang lain sedang dalam tahap pengerjaan. Bangunan-bangunan kuna dan situs yang telah direkonstruksi diantaranya, Candi Wringin Lawang, Candi Brahu, Candi Gentong, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Kedaton, Candi Minak Jinggo, Candi Grinting, Pendopo Agung, Kolam Segaran, Situs Lantai Segi Enam, Alun-alun Watu Umpak, Makam Puteri Campa, Makam Troloyo, dan Siti inggil. Bangunan-bangunan tersebut saat ini menjadi situs wisata yang membawa nama desa Trowulan, kota Mojokerto. Sehingga nama kota Mojokerto menjadi terkenal akan wisata budayanya dan meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pariwisata. Selain itu, industri kerajinan tembikar dan batu bata di trowulan berkembang pesat karena terinspirasi dari tinggalan-tinggalan di dalam situs Trowulan.
III.2 Nilai Solidaritas Sosial dan Integrasi
Situs Trowulan yang merupakan situs pemukiman Majapahit kuna yang menghasilkan banyak peninggalan-peninggalan budaya dan sejarah. Peninggalan-peninggalan tersebut melambangkan jati diri kebudayaan asli masyarakat Trowulan pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
III.3 Nilai Penelitian
Sebagai situs pemukiman terbesar di Indonesia dengan cakupan area seluas 100 km2 dan didukung oleh faktor historis kerajaan Majapahit yang luar biasa, maka situs Trowulan menjadi perhatian banyak peneliti untuk menguak misteri yang belum terbongkar di dalamnya. Rangkaian cerita sejarah, kebudayaan, dan rahasia kejayaan Majapahit tergambarkan di situs ini, karena faktor luas cakupan area dan tinggalan-tinggalannya yang melimpah menjadi data lapangan bukti penelitian. Penelitian ilmiah di situs Trowulan pun bahkan telah dilakukan sejak awal abad ke-20 oleh pemerintah Hindia-Belanda dan terus dilakukan hingga saat ini.
III.4 Nilai Rekreasi dan Pariwisata
Situs Trowulan sebagai situs wisata memiliki nilai sejarah dan budaya. Situs Trowulan yang memiliki cakupan area tinggalan seluas 100 km2 dan didukung oleh faktor historis kemaharajaan Majapahit di Asia Tenggara menjadi nilai utama dari potensi pariwisata. Situs wisata Trowulan menyajikan berbagai bentuk monumen, bangunan cagar budaya, dan reruntuhan situs pemukiman memberikan gambaran kebesaran nilai seni dan budaya yang diukir oleh masyarakat Majapahit kuna. Selain itu, artefak-artefak yang tersaji di dalam museum Pusat Informasi Majapahit (PIM) berupa tinggalan keramik, tembikar, uang kepeng, dan peralatan rumah tangga kuna lainnya menjadi sajian yang menarik minat wisatawan. Apabila seluruh areal situs Trowulan telah direkonstruksi, berpotensi menjadi pusat pariwisata sejarah budaya yang mendunia, bahkan dapat mengalahkan situs pemukiman kuna di Pompeii, Italia. Dengan perbaikan dan penambahan beberapa fasilitas, serta rekonstruksi dan penelitian lebih lanjut di situs Trowulan, maka tidak mustahil situs ini berkembang menjadi situs wisata sejarah dan budaya yang mendunia, mengingat besarnya potensi-potensi yang terkandung di dalamnya.
III.5 Nilai Kesenian
Peninggalan-peninggalan di Situs Trowulan berupa monumen, bangunan cagar budaya, dan artefak memiliki nilai artistik, sejarah, dan budaya. Dengan kata lain bernagai bentuk tinggalan tersebut berseni tinggi hasil karya cipta buatan tangan masyarakat Majapahit kuna dan menjadi inspirasi pembuatan karya kesenian masyarakat Trowulan masa kini. Mulai dari gaya arsitektur bangunan, kesenian keramik, dan tembikar masyarakat Trowulan masa kini terinspirasi dari peninggalan-peninggalan kuna di Situs Trowulan.
III.6 Nilai Pendidikan
Situs pemukiman kuna Trowulan kaya akan unsur nilai sejarah dan budaya. Informasi dan data mengenai sejarah bangsa Indonesia tersedia di situs Trowulan. Informasi-informasi di situs Trowulan merupakan sumber edukasi sejarah dan budaya bangsa untuk masyarakat sebagai bahan yang sangat penting dan bermanfaat untuk dipelajari. Situs Trowulan pun seringkali dijadikan sebagai lokasi kuliah praktikum kerja lapangan mahasiswa-mahasiswa arkeologi dari berbagai universitas dan instansi terkait.
III.7 Nilai Ekonomi
Selama ini situs Trowulan yang cukup terkenal berhasil membawa nama dea Trowulan dan kota Mojokerto. Sebagai lokasi wisata, situs Trowulan membawa pendapatan untuk daerah dan masyarakat sekitar. Situs Trowulan sebagai situs pariwisata sejarah dan budaya yang memiliki potensi besar dapat dikembangkan menjadi lokasi wisata yang menjual di dunia.
III.8 Nilai Legitimasi
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang memiliki masa kejayaan dan kebesarannya terkenal hingga seantero Asia Tenggara dari abad ke-13 hingga abad ke-16. Nilai sejarah dan budaya yang ditinggalkan dari kerajaan ini menjadi perebutan beberapa negara di Asia Tenggara. Keberadaan situs Trowulan yang diperkirakan merupakan pusat kerajaan Majapahit yang terletak di Indonesia, sekaligus melegitimasi nilai sejarah dan budaya kerajaan Majapahit sebagai milik bangsa Indonesia dan menjadikannya sebagai bagian dari jati diri bangsa.
III.9 Nilai Presentasi Simbolis
Beberapa tinggalan-tinggalan di situs Trowulan diantaranya dijadikan sebagai bahan representasi simbolik bagi masyarakat. Seperti 2 buah arca Dwarapala yang selalu didirikan di pintu gerbang bangunan-bangunan tinggalan Trowulan disimbolisasikan sebagai arca penjaga bangunan dan menjadi inspirasi gaya arsitektur bangunan masa kini yang mendirikan arca Dwarapala sebagai hiasan di pintu gerbang bangunan rumah. Selain itu ada pula representasi simbolik dari tokoh seorang bernama Gajah Mada yang dikenal sebagai Patih kerajaan Majapahit diambil dari sebuah barang tinggalan yang dianggap menggambarkan wajahnya.

IV. Penutup
Unsur nilai yang terkandung di dalam situs Trowulan melalui peninggalan-peninggalannya yang berupa bangunan cagar budaya, monumen, dan artefak merupakan kearifan lokal yang ditinggalkan oleh masyarakat terdahulu, bangsa indonesia. Berbagai nilai yang ditinggalkan dari peninggalan-peninggalan tersebut menjadi ciri khas dari sejarah dan budaya kita sebagai jati diri bangsa. Pelestarian akan peninggalan-peninggalan fisik di situs ini terus diusahakan untuk dikembangkan dan mempertahankannya dari kemungkinan kepunahan. Pelestarian dari situs cagar budaya ini sekaligus menjadi peluang dalam menggali segala unsur potensi yang ada berdasarkan 9 unsur nilai yang telah dibahas sebelumnya. Dengan optimalisasi keseluruhan potensi yang ada, saya optimis situs trowulan ini akan mampu berkembang sebagai pusat wisata sejarah dan budaya bangsa yang terkemuka di dunia, bahkan bisa jadi dinobatkan sebagai warisan dunia.

DAFTAR REFERENSI



Majapahit: Trowulan. (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006)
Munandar, Agus Aris.(2008). Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Munandar, Agus Aris.(2003). Karya Arsitektur dalam Kajian Arkeologi.
Cakrawala Arkeologi (hal. 1-21). Depok: FIB UI.
Mundardjito.(1997). Pemukiman Masa Majapahit di Situs Trowulan, Mojokerto.
Jakarta: FS-UI
Sumadio, Bambang (Penyunting).(1984). Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman
Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

ANALISIS TATA KOTA DAN BENTUK BANGUNAN HUNIAN PADA PEMUKIMAN MASYARAKAT MAJAPAHIT



I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Trowulan adalah situs pemukiman masyarakat kerajaan Majapahit kuna dari abad ke-13 sampai abad ke-16. Situs Trowulan dahulu diperkirakan sebagai ibukota kerajaan Majapahit. Penelitian dan ekskavasi di situs trowulan telah dilakukan sejak tahun 1976 oleh instansi terkait. Areal Trowulan berukuran 9 x 12 km ini menyimpan kekayaan peninggalan di masa kejayaan kerajaan Majapahit. Beberapa bagian areal situs telah diekskavasi dan menampakkan tinggalan-tinggalan bekas pemukiman masyarakat berupa struktur dan runtuhan bangunan. Saat ini di Trowulan telah berdiri gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang menyediakan berbagai informasi mengenai Majapahit, penelitian dan data-data terkini serta memamerkan artefak-artefak peninggalan kerajaan Majapahit.
Trowulan sebagai situs pemukiman kuna terbesar di Indonesia sangat menarik untuk dibahas. Saat ini telah banyak hasil penelitian dan ekskavasi yang dilakukan di sana. Saya sendiri beberapa waktu lalu sempat melakukan observasi lapangan di sektor Sentonorejo, Trowulan . Hasil observasi dan ekskavasi yang saya lakukan di sana menarik minat saya untuk menganalisa bentuk bangunan utuh dari reruntuhan tinggalan, apalagi belum ada kajian khusus mengenai seluk-beluk arsitektur pemukiman masyarakat kuna di situs Trowulan ini.

1.2 Perumusan Masalah
Hasil ekskavasi yang pernah dilakukan di banyak Sektor di Situs Trowulan memperlihatkan tinggalan-tinggalan struktur bangunan yang masih intact dengan
tanah. Tinggalan-tinggalan struktur dan reruntuhan bangunan berupa batu dan bata memperlihatkan pola dasar dari bentuk bangunan hunian yang dahulu pernah berdiri. Maka penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bentuk bangunan hunian secara utuh berdasarkan hasil ekskavasi dan interpretasi analisis objek dengan metode penelitian etnoarkeologi, arkeologi arsitektur, naskah kuna, dan peninggalan artefak-artefak yang bisa membuktikannya.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa bentuk bangunan utuh terutama bangunan rumah pemukiman masyarakat kuna khususnya di sektor Sentonorejo, situs Trowulan melalui hasil penelitian dan ekskavasi yang pernah dilakukan oleh beberapa instansi terkait, seperti BP3 Jawa Timur, Balai Konservasi Arkeologi, dan Departemen Arkeologi Universitas Indonesia.

1.4 Metode Penelitian
Metode penelitian terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap observasi lapangan, survey kepustakaan, tahap deskripsi, tahap analisis, dan tahap interpretasi.


2. ANALISIS PENELITIAN

2.1 Situs Ibukota Majapahit Trowulan
Desa Trowulan terletak sekitar 10 km dari kota Mojokerto, atau sekitar 60 km di sebelah barat daya Kota Surabaya, Jawa Timur. Situs ini berada pada ketinggian 30-40 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan sekitar 2-3%. Secara geografis, situs ini terletak pada 70° 30’ - 70° 41’ lintang selatan dan 112° 18’ - 112° 28’ bujur timur (PIM:2010). Situs Trowulan memiliki cakupan area seluas 100 km². Banyak sekali bangunan-bangunan kuna yang masih berdiri hingga saat ini. Wujud bangunan yang masih tersisa antara lain berupa bangunan candi, pintu gerbang kerajaan, kolam pemandian, bangunan kanal air, bangunan waduk, bangunan kanal, sumur kuno, makam kuno, sisa bangunan pendopo, sisa pemukiman kuno hingga sisa bangunan rumah. Selain peninggalan berupa bangunan, ratusan ribu artefak Majapahit berupa koin mata uang, batu bata, batu umpak, batu lumpang, genting, pecahan tembikar, celengan, miniatur arca terakota, hingga keramik cina tersebar di seluruh penjuru Trowulan.
Bangunan-bangunan kuna dan situs yang telah diekskavasi diantaranya, Candi Wringin Lawang, Candi Brahu, Candi Gentong, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Kedaton, Candi Minak Jinggo, Candi Grinting, Pendopo Agung, Kolam Segaran, Situs Lantai Segi Enam, Alun-alun Watu Umpak, Makam Puteri Campa, Makam Troloyo, dan Siti inggil (PIM: 2010).

2.2 Ruang Kota Majapahit
Sistem tata kota ibukota Majapahit kuna di Trowulan ini sangat rapi. Situs pemukiman berorientasi ke utara dengan deviasi 10°-15° ke arah timur laut. Melihat hasil ekskavasi selama ini, semua bangunan pemukiman kuna serempak berorientasi ke arah timur laut sesuai orientasi situs pemukiman secara keseluruhan. Tinggalan-tinggalan sistem jaringan kanal-kanal air pun dibangun dengan orientasi sama dan tersusun rapih membentang dari arah timur ke barat sepanjang 5 km dan dari arah utara ke selatan sepanjang 4 km. Kanal-kanal air kuna saling berpotongan dan menjadi pembatas dari pembagian denah kota. Jaringan kanal air kuna di Trowulan ini sangat maju. Jaringan kanal air kuna ini memiliki pola dan merupakan jaringan bertingkat, mengalir sampai ke perumahan penduduk pada masa itu. Bagian-bagian kota secara garis besar terdiri dari daerah pemukiman rakyat, daerah pemukiman keluarga raja, alun-alun, dan lapangan.

2.3 Analisis Arah Orientasi Ruang Kota
Ruang kota situs Trowulan berorientasi ke arah utara dengan sudut deviasi antara 10°- 15° ke arah timur laut. Semua bangunan-bangunan kuna di dalam situs ini memiliki arah orientasi yang sama. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa arah orientasi ruang kota beserta isinya serempak memiliki sudut deviasi 10°-15° ke arah timur laut. Penataan ruang dalam konsep agama hindu dan budha mengikuti kaidah tertentu, berdasarkan bukti-bukti yang ada, salah satunya yang sesuai dengan keadaan ruang kota di situs Trowulan adalah konsep penataan ruang yang mengacu pada arah absolut. Dalam konsep ini ruang atau bangunan hindu dan budha berorientasi pada mata angin, pada keletakan pegunungan, puncak gunung tertinggi, dan ada juga yang mengarah ke laut (Agus Aris Munandar: 2007). Konsep orientasi arah hadap bangunan mengacu pada benda atau tempat yang statis atau tidak bergerak sehingga menjadi acuan. Secara geografis, kemungkinan ruang tata kota Majapahit mengacu pada keletakan pegunungan, yaitu kompleks pegunungan Anjasmoro yang membentang dari arah barat ke timur dan terletak di sebelah selatan kota Trowulan dengan puncak tertingginya adalah gunung Arjuno 3.339 meter dari permukaan laut. Letak gunung Arjuno berada pada sudut deviasi 190°-195° dari arah utara, yaitu tepatnya di sebelah tenggara kota Trowulan. Jadi, bisa disimpulkan arah orientasi ruang kota Majapahit mengacu pada keletakan gungung Arjuno sehingga arah sudut deviasinya 10°-15°.

2.4 Tinggalan Bangunan Hunian dari Hasil Ekskavasi
Selama ini penelitian terhadap arsitektur bangunan kuna di Indonesia baru sebatas pada bangunan suci seperti candi yang jumlahnya ratusan. Perhatian pada peninggalan bangunan tempat tinggal atau rumah kurang diperhatikan karena minimnya bukti-bukti tinggalan, tidak seperti candi yang strukturnya dibangun dari bahan yang tahan lama dan tidak mudah rusak seperti batu andesit, sehingga masih dapat dilihat bentuknya hingga saat ini. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan mengenai bangunan hunian atau rumah tidak dapat menunjukkan secara akurat bentuk dan ukuran yang sebenarnya.
Selama 34 tahun ekskavasi yang dilakukan oleh Puslit-Arkenas, Direktorat Purbakala, BP3 Jatim, Balai Konservasi, dan Departemen Arkeologi UI telah berhasil menampakkan belasan sisa runtuhan bangunan, beberapa bentang lantai bangunan, artefak, dan fragmen yang berkaitan dengan bangunan hunian. Dari belasan situs sisa bangunan yang telah diekskavasi, pilihan situs penelitian saya adalah sektor Sentonorejo yang terletak di halaman gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM).
Luas kotak yang telah diekskavasi adalah 216 m². Penampakkan hasil ekskavasi di Sektor Sentonorejo menunjukkan denah bangunan beserta halaman dari suatu lingkup kecil pemukiman yang memenuhi beberapa parameter bagi rekonstruksi arsitektur bangunan hunian atau rumah tinggal.
Sektor Sentonorejo merupakan sektor yang diekskavasi sejak tahun 1995. Sektor Sentonorejo menampakkan dengan jelas denah halaman tanah dan perkerasan dengan kerakal-kerakal. Tinggalan-tinggalan bangunan ditemukan pada kedalaman tanah antara 93-102 cm (PIM: 2010) atau berada pada ketinggian 38,98-39,07 meter dari permukaan laut. Temuan arkeologis di Sektor ini diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu temuan unsur bangunan dan unsur bukan bangunan.
2.4.1 Unsur Bangunan:
a. Bagian kaki bangunan, tinggalan insitu antara lain struktur bata yang membentuk pola persegi panjang, susunan bata membentuk tangga atrau undakan naik ke lantai struktur bata, dan parit yang mengelilingi struktur bata.
b. Unsur badan bangunan, sama sekali tidak ditemukan.
c. Unsur kepala bangunan, antara lain pecahan genting, potongan bubungan atap, dan ukel yaitu hiasan yang terletak di ujung sudut atap.
2.4.2 Unsur Bukan Bangunan:
a. Jambangan air, guci, kendi, dan peralatan rumah tangga lainnya yang terbuat dari terakota.
b. Pecahan keramik asing dan lokal.
c. Arang dan limbah hasil pembakaran.
d. Susunan bata, susunan kerakal, dan tanah.

2.5 Analisis Tinggalan dan Rekonstruksi Bentuk
Berdasarkan tinggalan dari hasil ekskavasi di sektor Sentonorejo, terdapat susunan struktur bata berbentuk persegi panjang dengan ukuran penampang struktur 5,2 x 2,15 m di halaman sektor pusat. Ketinggian struktur bata 51 cm dari halaman, diperkirakan struktur bata ini merupakan kaki atau pondasi dari bangunan beratap. Halaman sektor utama terletak di sebelah utara dari sektor pusat. Halaman sektor utama ini tersusun oleh sebaran kerakal-kerakal bulat secara merata dengan dibingkai oleh susunan bata yang diletakkan secara horizontal. Bagian barat sektor terdapat struktur susunan bata dengan ukuran penampang struktur 2,2 x 1,6 m dan berada lebih tinggi 45 cm dari halaman. Bagian timur sektor terdapat struktur bata yang keletakkannya tidak beraturan sehingga tidak dapat dilakukan pengukuran secara pasti. Pada bagian ini juga tersusun atas kerakal-kerakal bulat yang tersebar merata dan susunan bata, disertai sejumlah kendi terakota dan jambangan air yang keletakkannya intact dengan struktur batanya. Diperkirakan di bagian timur sektor ini adalah taman air. Pada bagian selatan sektor terdapat susunan struktur bata yang memanjang dan saling melekat. Ukuran bata pada struktur di sebelah selatan sektor ini relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran bata yang terdapat pada struktur lainnya. Diperkirakan susunan struktur bata di bagian selatan sektor ini adalah tembok pembatas lingkungan sebuah keluarga.
Berdasarkan struktur bata di bagian pusat dan barat sektor yang diperkirakan sebagai pondasi bangunan hunian beratap, maka bisa dilakukan proses rekonstruksi. Rekonstruksi bagian badan dan kepala bangunan memakai pendekatan interpretasi etnoarkeologi dari bentuk bangunan rumah di desa Trowulan dan desa Bugbug di Bali saat ini. Tidak adanya tinggalan dari bentuk badan bangunan menunjukkan bagian badan bagian tersusun dari bahan dasar yang mudah lapuk, seperti bangunan di desa Trowulan yang dindingnya memakai bilik dari anyaman bambu. Kemungkinan bagian badan bangunan berupa anyaman bambu dengan tiang-tiang kayu yang berdiri langsung di atas struktur bata. Bangunan ini memiliki lubang pintu yang ditutup oleh pintu kayu, bambu atau mungkin tirai kain.
Atap bangunan berbentuk limas dengan unsur rangka atap seluruhnya menggunakan bahan kayu atau bambu. Penutup atap tersusun dari genteng terakota berukuran 24 x 13 x 0,8 x 0,9 cm. Atap dihiasi oleh bubungan dan pada ujung-ujung jurainya dipasang hiasan ukel.

2.6 Gambaran Arsitektur Bangunan Hunian berdasarkan Sumber Data Arkeologi
Proses analisa selain dari hasil ekskavasi, bentuk arsitektur bangunan hunian juga digambarkan oleh beberapa sumber data arkeologi, antara lain:
2.6.1 Miniatur rumah dari terakota
Selama proses ekskavasi, banyak sekali ditemukan artefak-artefak berbentuk miniatur bangunan pada masa itu, seperti miniatur rumah, atap, dan pendopo dalam beberapa bentuk yang bervariasai, akan tetapi memiliki dasar bentuk yang sama.
2.6.2 Relief Candi
Pada beberapa candi yang terdapat di situs Trowulan memiliki gambaran relief bangunan hunian pada masa itu walaupun dengan berbagai variasi bentuk, tetap saja memiliki konsep dasar bentuk yang sama.
2.6.3 Berdasarkan Sumber Tertulis
Sumber tertulis lebih banyak menceritakan keadaan ibukota kerajaan, Kedaton Majapahit dan lingkungan kerajaan seperti tertulis pada Nagarakrtagama canto 8-12 dibandingkan pemukiman rakyat yang bersifat profan. Beberapa sumber tertulis lainnya hanya menceritakan sekilas tentang pedesaan dan lingkungannya, termasuk didalamnya rumah hunian, antara lain tertulis pada Nagarakertagama, canto 9. 12, dan 58, kakawin Arjunawijaya, sekilas uraian pada canto 22, 25, kakawin Siwaratrikalpa, uraian rumah penduduk pada canto 2, dan beberapa naskah berita Cina Ma Huan. (arkeologi.web.id).


3. PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Bangunan rumah tinggal masyarakat Majapahit kuna di Sektor Sentonorejo yang telah dianalisa dan direkonstruksi merupakan satu bangunan dari kumpulan bangunan yang berada dalam suatu lingkungan pemukiman yang dikelilingi suatu tembok pembatas wilayah kota Majapahit, Trowulan.
Bangunan menghadap ke utara dengan orientasi ke arah timur laut sebesar 10°. Demikian pula dengan seluruh tinggalan arkeologis di Trowulan berorientasi sama secara rapi dan teratur, hanya ada pergeseran antara 8-15°. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Agus Aris Munandar, orientasi keletakkan bangunan masa Hindu-Buddha mengacu pada arah absolut, dalam hal ini sesuai dengan kondisi di Situs Trowulan. Arah orientasi bangunan dan tata kota mengarah pada puncak gunung tertinggi, yaitu gunung Arjuno (3.339m).
Rekonstruksi pada denah atau batur bangunan merupakan ukuran arsitektur yang pasti, sedangkan rekonstruksi pada bentuk bangunan, ukuran, dan bahan material memungkinkan adanya beberapa model bentuk.
Hasil rekonstruksi merupakan rekonstruksi gambar yang diperoleh sesuai kaidah perancangan arsitektur dalam metode analisa arkeologi yang diwujudkan dalam skala 1:1.
3.1.1 Kearifan lokal
Kesan sederhana, alami, harmoni, dan selaras dengan alam dan lingkungannya merupakan kelebihan hasil arsitektur lokal. Sumber daya material bangunan dan peralatan kehidupan manusia pada masa itu menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di daerahnya. Kemampuan untuk memanfaatkan keunggulan tanah di Trowulan membuat situs ini disebut situs terakota. Sebagian besar semua tinggalan bangunan suci maupun profan terbuat dari terakota. Kearifan ini hendaknya dapat menjadi acuan bagi kita untuk mengembangkan keragaman yang khas dalam hal penggunaan bahan material arsitektur pada masing-masing daerah.
Keadaan alam lingkungan pada dataran yang cukup rendah dan landai disikapi dengan membuat sistem jaringan drainase. Jaringan berupa kanal-kanal besar dengan skala makro untuk kota, hingga parit-parit kecil yang mengelilingi rumah-rumah tinggal penduduk sebagai bagian dari skala mikro kota. Diantara rumah-rumah tersebut dilengkapi pula oleh taman-taman air yang terbuat dari perkerasan bata dan batu kerikil dengan berbagai pola.
Kearifan dalam menyikapi keadaan geografi dan topografi, udara yang lembab, kekeringan pada musim panas, serta curah hujan yang tinggi pada musim hujan berpengaruh pada ketinggian lantai bangunan. Lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah asli, disebut batur. Pada sekeliling tepi batur, bata-bata tersusun secara vertikal yang masing-masing diantaranya hanya dilekatkan dengan campuran tanah yang diliatkan, setebal rata-rata 1 cm. Batur diisi dengan tanah yang dipadatkan, kemudian di atasnya disusun lantai dari bata. Bentuk arsitektur ini merupakan bentuk penyelesaian fungsi pondasi dan lantai bangunan secara sederhana. Demikian pula dengan bagian bangunan lainnya seperti dinding yang terbuat dari gedeg, pintu, tiang, dan konstruksi atap dari kayu, serta penutup atap dari terakota atau bahan lain dari tumbuhan dan pepohonan.
3.1.2 Pelestarian vs Kepunahan
Usaha pelestarian di Situs Trowulan yang terus dilakukan oleh pihak-pihak terkait ternyata diimbangi oleh usaha perusakan terhadap tinggalan-tinggalan arkeologis yang masih berada di dalam tanah. Usaha pelestarian dipastikan kalah cepat dengan usaha penduduk mencari nafkah yang membuat industri bata-bata baru dengan bahan baku yang mengandung tinggalan arkeologis. Cepat atau lambat tinggalan masa kerajaan Majapahit di Situs Trowulan akan tergerus terus, bahkan bisa-bisa tak akan tersisa lagi.

DAFTAR REFERENSI



Brown, Percy.(1959). Indian Architecture (Buddhist and Hindu Periods).
Bombay: D.B.Taraporevala Sons & Co. Private Ltd.
Budihardjo, Eko.(1991). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Bernet Kempers, A.J.(1959). Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Der
Peet.
Chihara, Daigoro.(1996). Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia. Studies
in Asian Art and Archaeology Continuation of Studies in South Asian Culture.
Leiden-New York-Koln: E.J.Brill.
Majapahit: Trowulan. (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006)
Munandar, Agus Aris.(2008). Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Munandar, Agus Aris.(2003). Karya Arsitektur dalam Kajian Arkeologi.
Cakrawala Arkeologi (hal. 1-21). Depok: FIB UI.
Mundardjito.(1997). Pemukiman Masa Majapahit di Situs Trowulan, Mojokerto.
Jakarta: FS-UI
Sumadio, Bambang (Penyunting).(1984). Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman
Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

INDUSTRI PERTAMBANGAN SAWAHLUNTO




I. Pendahuluan
Sawahlunto merupakan sebuah kota yang terletak lebih kurang 90 kilometer dari kota Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat. Kota Sawahlunto adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sumatra Barat. Kota ini memiliki luas wilayah 5,86 km2 dan populasi 15.279 jiwa. Kota ini lebih dikenal dengan nama kawasan kota tua, karena hingga kini, masih berdiri beberapa bangunan tua peninggalan jaman pemerintah kolonial Belanda yang usianya telah mencapai ratusan tahun. Kini, beberapa diantara bangunan itu masih dijadikan sebagai rumah sakit umum Sawahlunto, perkantoran, serta sekolah. Untuk menuju kota Sawahlunto, dapat mengawali perjalanan dari kota Padang menggunakan kendaraan pribadi ataupun bus umum sekitar 2 jam.
Sawahlunto memiliki sebuah tempat pariwisata yang pernah dijadikan pusat pertambangan Sawahlunto sekitar abad ke-19. Sekitar tahun 1880, penambangan batubara di Sawahlunto untuk kali pertama dilaksanakan oleh pemerintah Belanda. Karena aktifitas pertambangan itulah, nama Sawahlunto mulai dikenal oleh dunia Internasional sebagai kota arang.
Terdapat sebuah lubang bekas tambang yang ukurannya relatif besar di situs Sawahlunto. Awalnya, lubang bekas tambang itu hanya menjadi saksi bisu ekspansi pertambangan Sawahlunto masa pemerintahan Belanda. Namun sejak pertengahan tahun 2008, pemerintah kota Sawahlunto menjadikan tempat ini sebagai lokasi wisata sejarah.
Kota Sawahlunto merupakan kota tambang satu-satunya di Sumatra Barat. Sebagai sebuah kota tambang, maka kota ini bersamaan pula munculnya dengan pertambangan batu bara yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1892. Batu bara sudah ditemukan di sini sejak pertengahan abad ke-19 oleh Ir. de Greve. Ia kemudian mengajukan kepada pemerintah Belanda untuk menambang batu bara di daerah ini karena sangat dibutuhkan untuk dunia industri dan transportasi ketika itu. Sejak penemuan batu bara itu daerah ini selalu dikunjungi oleh para geolog. Akhirnya setelah masyarakat lokal "menyerahkan" daerah ini kepada Belanda pada tahun 1876, maka dirintislah pertambangan batu bara di daerah ini. Pertambangan itu dikelola oleh negara dan setelah kemerdekaan diberi nama PT Tambang Batubara Ombilin (TBO). TBO kemudian dilikuidasi menjadi anak dari PTBA (Bukit Asam) yang terdapat di Sumatra Selatan. Sekarang, sejak reformasi bergulir berkembang pula di daerah itu tambang rakyat. Rakyat merasa berhak pula untuk melakukan pertambangan. Pertambangan yang mereka lakukan bukan saja di tanah kaum, tetapi juga tanah milik pertambangan PTBA UPO. Walikota saat ini di kota Sawahlunto adalah Ir. Amran Nur dengan wakil walikota Erizal Ridwan S.T.
Sawahlunto tidak hanya dikenal sebagai kota arang. Sejarah mencatat, kota ini juga menjadi cikal bakal pembuatan jalur kereta api di Sumatera Barat. Sekitar abad ke-19, pemerintah Belanda membuat jalur kereta api untuk mengangkut batubara dari Sawahlunto menuju pelabuhan Teluk Banyur di Padang. Sejak saat itulah, pemerintah Belanda membuat jalur kereta api untuk menghubungkan beberapa daerah lain di Sumatera Barat, seperti jalur kereta api dari Lubuk Alung ke Pariaman, dari Padang ke Padangpanjang, dari Padangpanjang menuju Bukittinggi, dari Padangpanjang menuju Solok, dari Solok menuju Muara Kalaban, serta dari Bukittingging ke daerah Payakumbuh.
III. Wilayah
Secara geografis Kota Sawahlunto berada pada 033’40” – 043’ 33” LS dan 100 43’ 13” – 100 50’ 40” BT, berbatas sebelah utara dengan kabupaten Tanah Datar, sebelah timur dengan kabupaten Sawahlunto/Sijunjung dan sebelah Selatan dan barat berbatasan dengan kabupaten Solok.
Kota Sawahlunto dikenal sebagai kota tambang dengan luas wilayah 27.345 Ha atau 273.45 km2. Secara administrasi terdiri dari 4 Kecamatan, 10 Kelurahan dan 27 desa. Jarak dari Kota Sawahlunto ke kota Padang adalah 95 km yang dapat dicapai melalui jalan darat dengan kondisi baik dalam waktu 2 jam dengan kendaraan roda empat.
IV. Topografi
Bentang alam Kota Sawhalunto terbentuk oleh perbukitan terjal, landai dan pendataran dengan elevasi 250 – 650 m diatas permukaan laut. Perbukitan terjal merupakan bentang alam yang terjal menjadi faktor pembatas dalam pengembangan wilayah kota, sedang pusat kota lama sawahlunto terletak pada bentang alam landai sempit dan memanjang dengan luas 5,8 km2. Pendataran yang relatif lebar terdapat diwilayah Kecamatan Talawi, wilayah ini terbentang dari utara ke selatan, bagian timur dan telatan mempunyai topografi yang relatif curam dengan kemiringan lebih dari 40%. Sedangkan di bagian utara bergelombang yang relatif datar. Luas wilayah kota Sawahlunto sebagian besar terletak pada ketinggian 100 – 500 m. Secara garis besar kota Sawahlunto terdiri dari kawasan lindung (26,5%) dan kawasan budidaya (73,5). Penggunaan tanah yang dominan merupakan perkebunan campuran (34,1%), hutan lebat dan belukar (19,5%). Sedangkan danau (0,2%) danau ini merupakan bekas galian penambangan batu bara.
V. Iklim
Seperti daerah lainnya di Propinsi Sumatera Barat, Kota Sawahlunto mempunyai iklim tropis dengan suhu berkisar anatara 22°C. Sepanjang tahun terdapat dua musim yaitu musim hujan pada bulan November sampai Juni dan musim kemarau pada bulan Juli sampai bulan Oktober. Curah hujan rata-rata lebih kurang sebesar 1.071,6 milimeter per tahun dan curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Desember.
VI. Penduduk
Jumlah penduduk Kota Sawahlunto akhir tahun 2005 adalah sebanyak 52.457 jiwa terdiri dari 24.456 jiwa pria dan 26.777 jiwa wanita, dengan kepadatan penduduk 191 jiwa/km2.
Mata pencarian penduduk sangat beraneka ragam seperti bekerja di bidang pertanian, sektor pertambangan dan bidang jasa. Struktur ekonomi masyarakat kota Sawahlunto sebagian besar ditopang oleh sektor pertambangan. Subsektor pertanian tanaman pangan, indusrti kecil/kerajinan rumah tangga dan sektor peternakan.
Dengan adanya perluasan wilayah berdasarkan peraturan pemerintah No.44 tahun 1990, Kota Sawahlunto tidak hanya dikenal sebagaidaerah sentral industri kerajinan, makanan kecil, peternakan, buah-buahan dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata.
VII. Sejarah Kota Sawahlunto sebagai Kota Tambang
Sawahlunto adalah salah satu diantara sejumlah kota yang terletak di kawasan Bukit Barisan di Sumatera Barat, tetapi mempunyai riwayat kehadiran yang berbeda dengan kota lain tersebut. Kota seperti Bukit Tinggi, Batusangkar, Payakumbuh, Padang Panjang dan Solok terbentuk oleh perkembangan komunitas Minang, sedangkan Sawahlunto oleh usaha tambang pada zaman pemerintahan Belanda tahun 1888. Sawahlunto mulai menjadi pemukiman pekerja tambang ketika uang sebesar 5,5 juta golden ditanamkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membangun berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara Ombilin, Pemukiman ini terus berkembang mejadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.
Belanda juga membangun sistem kereta api dengan biaya 17 juta gulden sebagai alat angkut untuk dapat membawa batu bara dari sawahlunto keluar melalui Padang. Kereta api telah beroperasi sejak tahun 1888 tetapi baru sampai di Muara kalaban dan mencapai Sawahlunto pada 1894. adanya angkutan kereta api inilah yang membuat usaha pertambangan itu kembali memberikan hasil yang positif dari hanya puluhan ribu ton menjadi ratusan ribu ton pertahun, dari usaha yang rugi menjadi menjadi usaha dengan laba besar sampai 4,6 juta gulden dalam setahun pada tahun 1920. Sampai tahun 1898, usaha tambang ini masih mengandalkan pekerja paksa yaitu narapidana yang dipaksa bekerja untuk tambang dan dibayar dengan harga murah. Tahun 1908 upah buruh paksa 18 sen/ hari dan dapat dikenakan sangsi hukum cambuk kalau membangkang, upah buruh kontrak 32 sen/hari dengan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan jaminan kesehatan. Sedangkan buruh bebas upahnya 62 sen/hari tanpa fasilitas (Zubir,1995). Dengan demiklian dapatlah dibayangakan bahwa pada awal abad ke 20, Sawahlunto sesungguhnya merupakan kamp tahanan bagi pekerja paksa tersebut.
Pada tahun 1918 Sawahlunto dikategorikan sebagai Gemeentelijk Ressort atau Gemeente dengan luas wilayah 778 ha, hal ini karena ada kaitannya dengan puncak keberhasilan kegiatan pertambangan tersebut. Pada tahun 1930 wilayah ini berpenduduk 43576 jiwa, diantaranya 564 jiwa adalah orang belanda (Eropa). Walaupun demikian Sawahlunto belum sempat menjadi Stadsgemeente, yang penyelenggaraan kotanya dilakukan oleh stadsgemeenteraad (DPRD) dan Burgemeester (Walikota).
Sejak tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 70-an produksi batubara ombilin merosot, kembali hanya puluhan ribu ton pertahun. Sawahlunto pun mengalami kemerosotan yang diindikasikan dari merosotnya jumlah penduduk menjadi hanya 13.561 jiwa pada sensus tahun 1980. Dengan menambah beberapa fasilitas, perubahan manajemen dan penerapan teknologi baru, usaha penambangan meningkat kembali sejak awal tahun 80-an, bahkan produknya terus meningkat melampaui 1 juta ton pertahun pada akhir tahun 90-an. Penduduk Sawahlunto juga meningkat menjadi 15.279 jiwa menurut sensus tahun 1990. Walaupun demikian laju pertumbuhan penduduk yang hanya 1,2% pertahun ini masih dibawah rata-rata laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat yang mencapai 1,62% dan tidak tampak mempunyai korelasi dengan peningkatan produksi batubara.
Pada tanggal 10 Maret 1949 diadakan rapat dengan hasilnya Daerah Afdeeling Solok tersebut di bagi atas kabupaten Sawahlunto/Sijunjung dan Kabupaten Solok, maka Pemerintahan Stad Gemeente Sawahlunto dirangkap oleh Bupati Sawahlunto/Sijunjung. Dalam kurun waktu 1949 - 1965 terjadi perubahan status dari berdiri sendiri atau di bawah Pemerintah Sawahlunto/Sijunjung. Selanjutnya dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 statusnya berubah menjadi Daerah Tingkat II dengan sebutan Kotamadya Sawahlunto.
VIII. Kota Sawahlunto Menjadi Lokasi Wisata Sejarah
Kota Sawahlunto terdapat Makam Pahlawan Nasional Prof. M.Yamin, SH di Kecamatan Talawi dan M.Yamin adalah Putra Kelahiran Talawi Kota Sawahlunto. Bangunan peninggalan Belanda yang masih indah dan sekarang ditempati oleh BRI yang berlokasi di Pasar Remaja dan didirikan tahun 1917. Saat ini pemerintah kota Sawahlunto melestarikannya sebagai museum kota Sawahlunto. Terdapat pemandian air dingin di Muaro Kalaban yang saat ini merupakan daya tarik wisatawan untuk menikmati keindahaan air dan alamnya. Selain itu terdapat objek wisata Goa di Talago Gunung yang saat ini termasuk dalam kategori pembenahan objek wisata.
Foto kota Sawahlunto dari Tugu Perjuangan yang kelihatan sangat indah dan nyaman sebagai tempat yang nyaman untuk bekerja dan tempat tinggal bagi warga masyarakat. Foto Kota Sawahlunto yang kelihatan sangat indah dapat dilihat dari objek wisata Kelok 16 dekat makam pahlawan kota Sawahlunto. Bangunan peninggalan Belanda yaitu rumah Fak Sin Kek yang berlokasi di Pasar Remaj saat ini menjadi aset sejarah kota Sawahlunto. Bangunan ini didirkan pada tahun 1906 dan ini hingga kini masih dihuni oleh Keluarga Fak Sin Kek pengrajin tenunan kain dengan cara memakai mesin manual di desa Silungkang.
IX. Museum Sawahlunto
Pada tahun 1894, pemerintah Belanda membuat jalur khusus dari Muara Kalaban menuju Sawahlunto yang dibuat menembus sebuah bukit dengan melewati terowongan sepanjang lebih kurang 835 meter. Untuk memperoleh informasi lebih lengkap tentang sejarah perkeretaapian di Sumatera Barat, Museum Kereta Api kota Sawahlunto menyediakan berbagai informasi. Lokasinya, di Jalan Abdul Rahman Hakim di pusat kota Sawahlunto.
Museum ini terdapat beberapa foto sejarah perkeretaapian di Sumatera Barat. Selain itu, di dalam museum ini terdapat koleksi berbagai peralatan kereta api, seperti dongkrak, rel, serta alat komunikasi yang terdapat di dalam kereta api. Sementara di halaman museum, terdapat koleksi kereta api yang dulu pernah menjadi alat transportasi pengangkut batubara yang usianya telah mencapai ratusan tahun.
X. Museum Gudang Ransum
Museum Gudang Ransum merupakan museum yang terdapat di situs wisata sejarah Sawahlunto. Sebelum menjadi museum, gedung yang telah berdiri sejak tahun 1918 ini merupakan sebuah dapur umum. Sekitar abad ke-19, gedung ini menjadi tempat untuk memasak makanan bagi para pekerja tambang Sawahlunto. Di salah satu sudut gedung, terdapat dua buah tungku berukuran besar yang tingginya mencapai lebih kurang 4 meter dari permukaan tanah. Kedua tungku itu merupakan tungku buatan Jerman tahun 1894.
Dahulu, uap dari tungku itulah yang menjadi sumber energi panas untuk memasak. Untuk mengalirkan sumber panas, pemerintah Belanda membuat sebuah pipa yang berhubungan langsung dengan lantai gedung dapur. Terdapat beberapa koleksi peralatan masak yang digunakan untuk mengolah makanan bagi pekerja tambang di abad ke-19. Beberapa diantaranya yakni kuali yang ukurannya relatif besar dan periuk untuk memasak nasi yang diameternya sekitar 132 cm dengan tinggi mencapai 62 cm. Untuk menuju museum ini, dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari Museum Kereta Api Sawahlunto sambil menikmati nuansa kota tua Sawahlunto.
XI. Penutup
Mungkin beberapa tahun ke depan kejayaan wisata tambang bisa di raih oleh Kota Sawahlunto dan menggantikan kejayaan ekonomi pertambangan. Kini tempat ini dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan pertambangan bagi aparatur pemerintahan baik dari Provinsi Sumatera Barat ataupun dari provinsi lainnya. Selain itu lokasi pertambangan Sawahlunto dapat juga dijadikan sebagai laboratorium alam yang akan sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan ilmu kebumian. Dengan beberapa perbaikan dan pengembangan pada beberapa sektor, kota Sawahlunto dapat dibangun menjadi lokasi wisata sejarah yang potensial.