Rabu, 08 Juni 2011

ANALISIS TATA KOTA DAN BENTUK BANGUNAN HUNIAN PADA PEMUKIMAN MASYARAKAT MAJAPAHIT



I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Trowulan adalah situs pemukiman masyarakat kerajaan Majapahit kuna dari abad ke-13 sampai abad ke-16. Situs Trowulan dahulu diperkirakan sebagai ibukota kerajaan Majapahit. Penelitian dan ekskavasi di situs trowulan telah dilakukan sejak tahun 1976 oleh instansi terkait. Areal Trowulan berukuran 9 x 12 km ini menyimpan kekayaan peninggalan di masa kejayaan kerajaan Majapahit. Beberapa bagian areal situs telah diekskavasi dan menampakkan tinggalan-tinggalan bekas pemukiman masyarakat berupa struktur dan runtuhan bangunan. Saat ini di Trowulan telah berdiri gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang menyediakan berbagai informasi mengenai Majapahit, penelitian dan data-data terkini serta memamerkan artefak-artefak peninggalan kerajaan Majapahit.
Trowulan sebagai situs pemukiman kuna terbesar di Indonesia sangat menarik untuk dibahas. Saat ini telah banyak hasil penelitian dan ekskavasi yang dilakukan di sana. Saya sendiri beberapa waktu lalu sempat melakukan observasi lapangan di sektor Sentonorejo, Trowulan . Hasil observasi dan ekskavasi yang saya lakukan di sana menarik minat saya untuk menganalisa bentuk bangunan utuh dari reruntuhan tinggalan, apalagi belum ada kajian khusus mengenai seluk-beluk arsitektur pemukiman masyarakat kuna di situs Trowulan ini.

1.2 Perumusan Masalah
Hasil ekskavasi yang pernah dilakukan di banyak Sektor di Situs Trowulan memperlihatkan tinggalan-tinggalan struktur bangunan yang masih intact dengan
tanah. Tinggalan-tinggalan struktur dan reruntuhan bangunan berupa batu dan bata memperlihatkan pola dasar dari bentuk bangunan hunian yang dahulu pernah berdiri. Maka penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bentuk bangunan hunian secara utuh berdasarkan hasil ekskavasi dan interpretasi analisis objek dengan metode penelitian etnoarkeologi, arkeologi arsitektur, naskah kuna, dan peninggalan artefak-artefak yang bisa membuktikannya.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa bentuk bangunan utuh terutama bangunan rumah pemukiman masyarakat kuna khususnya di sektor Sentonorejo, situs Trowulan melalui hasil penelitian dan ekskavasi yang pernah dilakukan oleh beberapa instansi terkait, seperti BP3 Jawa Timur, Balai Konservasi Arkeologi, dan Departemen Arkeologi Universitas Indonesia.

1.4 Metode Penelitian
Metode penelitian terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap observasi lapangan, survey kepustakaan, tahap deskripsi, tahap analisis, dan tahap interpretasi.


2. ANALISIS PENELITIAN

2.1 Situs Ibukota Majapahit Trowulan
Desa Trowulan terletak sekitar 10 km dari kota Mojokerto, atau sekitar 60 km di sebelah barat daya Kota Surabaya, Jawa Timur. Situs ini berada pada ketinggian 30-40 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan sekitar 2-3%. Secara geografis, situs ini terletak pada 70° 30’ - 70° 41’ lintang selatan dan 112° 18’ - 112° 28’ bujur timur (PIM:2010). Situs Trowulan memiliki cakupan area seluas 100 km². Banyak sekali bangunan-bangunan kuna yang masih berdiri hingga saat ini. Wujud bangunan yang masih tersisa antara lain berupa bangunan candi, pintu gerbang kerajaan, kolam pemandian, bangunan kanal air, bangunan waduk, bangunan kanal, sumur kuno, makam kuno, sisa bangunan pendopo, sisa pemukiman kuno hingga sisa bangunan rumah. Selain peninggalan berupa bangunan, ratusan ribu artefak Majapahit berupa koin mata uang, batu bata, batu umpak, batu lumpang, genting, pecahan tembikar, celengan, miniatur arca terakota, hingga keramik cina tersebar di seluruh penjuru Trowulan.
Bangunan-bangunan kuna dan situs yang telah diekskavasi diantaranya, Candi Wringin Lawang, Candi Brahu, Candi Gentong, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Kedaton, Candi Minak Jinggo, Candi Grinting, Pendopo Agung, Kolam Segaran, Situs Lantai Segi Enam, Alun-alun Watu Umpak, Makam Puteri Campa, Makam Troloyo, dan Siti inggil (PIM: 2010).

2.2 Ruang Kota Majapahit
Sistem tata kota ibukota Majapahit kuna di Trowulan ini sangat rapi. Situs pemukiman berorientasi ke utara dengan deviasi 10°-15° ke arah timur laut. Melihat hasil ekskavasi selama ini, semua bangunan pemukiman kuna serempak berorientasi ke arah timur laut sesuai orientasi situs pemukiman secara keseluruhan. Tinggalan-tinggalan sistem jaringan kanal-kanal air pun dibangun dengan orientasi sama dan tersusun rapih membentang dari arah timur ke barat sepanjang 5 km dan dari arah utara ke selatan sepanjang 4 km. Kanal-kanal air kuna saling berpotongan dan menjadi pembatas dari pembagian denah kota. Jaringan kanal air kuna di Trowulan ini sangat maju. Jaringan kanal air kuna ini memiliki pola dan merupakan jaringan bertingkat, mengalir sampai ke perumahan penduduk pada masa itu. Bagian-bagian kota secara garis besar terdiri dari daerah pemukiman rakyat, daerah pemukiman keluarga raja, alun-alun, dan lapangan.

2.3 Analisis Arah Orientasi Ruang Kota
Ruang kota situs Trowulan berorientasi ke arah utara dengan sudut deviasi antara 10°- 15° ke arah timur laut. Semua bangunan-bangunan kuna di dalam situs ini memiliki arah orientasi yang sama. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa arah orientasi ruang kota beserta isinya serempak memiliki sudut deviasi 10°-15° ke arah timur laut. Penataan ruang dalam konsep agama hindu dan budha mengikuti kaidah tertentu, berdasarkan bukti-bukti yang ada, salah satunya yang sesuai dengan keadaan ruang kota di situs Trowulan adalah konsep penataan ruang yang mengacu pada arah absolut. Dalam konsep ini ruang atau bangunan hindu dan budha berorientasi pada mata angin, pada keletakan pegunungan, puncak gunung tertinggi, dan ada juga yang mengarah ke laut (Agus Aris Munandar: 2007). Konsep orientasi arah hadap bangunan mengacu pada benda atau tempat yang statis atau tidak bergerak sehingga menjadi acuan. Secara geografis, kemungkinan ruang tata kota Majapahit mengacu pada keletakan pegunungan, yaitu kompleks pegunungan Anjasmoro yang membentang dari arah barat ke timur dan terletak di sebelah selatan kota Trowulan dengan puncak tertingginya adalah gunung Arjuno 3.339 meter dari permukaan laut. Letak gunung Arjuno berada pada sudut deviasi 190°-195° dari arah utara, yaitu tepatnya di sebelah tenggara kota Trowulan. Jadi, bisa disimpulkan arah orientasi ruang kota Majapahit mengacu pada keletakan gungung Arjuno sehingga arah sudut deviasinya 10°-15°.

2.4 Tinggalan Bangunan Hunian dari Hasil Ekskavasi
Selama ini penelitian terhadap arsitektur bangunan kuna di Indonesia baru sebatas pada bangunan suci seperti candi yang jumlahnya ratusan. Perhatian pada peninggalan bangunan tempat tinggal atau rumah kurang diperhatikan karena minimnya bukti-bukti tinggalan, tidak seperti candi yang strukturnya dibangun dari bahan yang tahan lama dan tidak mudah rusak seperti batu andesit, sehingga masih dapat dilihat bentuknya hingga saat ini. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan mengenai bangunan hunian atau rumah tidak dapat menunjukkan secara akurat bentuk dan ukuran yang sebenarnya.
Selama 34 tahun ekskavasi yang dilakukan oleh Puslit-Arkenas, Direktorat Purbakala, BP3 Jatim, Balai Konservasi, dan Departemen Arkeologi UI telah berhasil menampakkan belasan sisa runtuhan bangunan, beberapa bentang lantai bangunan, artefak, dan fragmen yang berkaitan dengan bangunan hunian. Dari belasan situs sisa bangunan yang telah diekskavasi, pilihan situs penelitian saya adalah sektor Sentonorejo yang terletak di halaman gedung Pusat Informasi Majapahit (PIM).
Luas kotak yang telah diekskavasi adalah 216 m². Penampakkan hasil ekskavasi di Sektor Sentonorejo menunjukkan denah bangunan beserta halaman dari suatu lingkup kecil pemukiman yang memenuhi beberapa parameter bagi rekonstruksi arsitektur bangunan hunian atau rumah tinggal.
Sektor Sentonorejo merupakan sektor yang diekskavasi sejak tahun 1995. Sektor Sentonorejo menampakkan dengan jelas denah halaman tanah dan perkerasan dengan kerakal-kerakal. Tinggalan-tinggalan bangunan ditemukan pada kedalaman tanah antara 93-102 cm (PIM: 2010) atau berada pada ketinggian 38,98-39,07 meter dari permukaan laut. Temuan arkeologis di Sektor ini diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu temuan unsur bangunan dan unsur bukan bangunan.
2.4.1 Unsur Bangunan:
a. Bagian kaki bangunan, tinggalan insitu antara lain struktur bata yang membentuk pola persegi panjang, susunan bata membentuk tangga atrau undakan naik ke lantai struktur bata, dan parit yang mengelilingi struktur bata.
b. Unsur badan bangunan, sama sekali tidak ditemukan.
c. Unsur kepala bangunan, antara lain pecahan genting, potongan bubungan atap, dan ukel yaitu hiasan yang terletak di ujung sudut atap.
2.4.2 Unsur Bukan Bangunan:
a. Jambangan air, guci, kendi, dan peralatan rumah tangga lainnya yang terbuat dari terakota.
b. Pecahan keramik asing dan lokal.
c. Arang dan limbah hasil pembakaran.
d. Susunan bata, susunan kerakal, dan tanah.

2.5 Analisis Tinggalan dan Rekonstruksi Bentuk
Berdasarkan tinggalan dari hasil ekskavasi di sektor Sentonorejo, terdapat susunan struktur bata berbentuk persegi panjang dengan ukuran penampang struktur 5,2 x 2,15 m di halaman sektor pusat. Ketinggian struktur bata 51 cm dari halaman, diperkirakan struktur bata ini merupakan kaki atau pondasi dari bangunan beratap. Halaman sektor utama terletak di sebelah utara dari sektor pusat. Halaman sektor utama ini tersusun oleh sebaran kerakal-kerakal bulat secara merata dengan dibingkai oleh susunan bata yang diletakkan secara horizontal. Bagian barat sektor terdapat struktur susunan bata dengan ukuran penampang struktur 2,2 x 1,6 m dan berada lebih tinggi 45 cm dari halaman. Bagian timur sektor terdapat struktur bata yang keletakkannya tidak beraturan sehingga tidak dapat dilakukan pengukuran secara pasti. Pada bagian ini juga tersusun atas kerakal-kerakal bulat yang tersebar merata dan susunan bata, disertai sejumlah kendi terakota dan jambangan air yang keletakkannya intact dengan struktur batanya. Diperkirakan di bagian timur sektor ini adalah taman air. Pada bagian selatan sektor terdapat susunan struktur bata yang memanjang dan saling melekat. Ukuran bata pada struktur di sebelah selatan sektor ini relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran bata yang terdapat pada struktur lainnya. Diperkirakan susunan struktur bata di bagian selatan sektor ini adalah tembok pembatas lingkungan sebuah keluarga.
Berdasarkan struktur bata di bagian pusat dan barat sektor yang diperkirakan sebagai pondasi bangunan hunian beratap, maka bisa dilakukan proses rekonstruksi. Rekonstruksi bagian badan dan kepala bangunan memakai pendekatan interpretasi etnoarkeologi dari bentuk bangunan rumah di desa Trowulan dan desa Bugbug di Bali saat ini. Tidak adanya tinggalan dari bentuk badan bangunan menunjukkan bagian badan bagian tersusun dari bahan dasar yang mudah lapuk, seperti bangunan di desa Trowulan yang dindingnya memakai bilik dari anyaman bambu. Kemungkinan bagian badan bangunan berupa anyaman bambu dengan tiang-tiang kayu yang berdiri langsung di atas struktur bata. Bangunan ini memiliki lubang pintu yang ditutup oleh pintu kayu, bambu atau mungkin tirai kain.
Atap bangunan berbentuk limas dengan unsur rangka atap seluruhnya menggunakan bahan kayu atau bambu. Penutup atap tersusun dari genteng terakota berukuran 24 x 13 x 0,8 x 0,9 cm. Atap dihiasi oleh bubungan dan pada ujung-ujung jurainya dipasang hiasan ukel.

2.6 Gambaran Arsitektur Bangunan Hunian berdasarkan Sumber Data Arkeologi
Proses analisa selain dari hasil ekskavasi, bentuk arsitektur bangunan hunian juga digambarkan oleh beberapa sumber data arkeologi, antara lain:
2.6.1 Miniatur rumah dari terakota
Selama proses ekskavasi, banyak sekali ditemukan artefak-artefak berbentuk miniatur bangunan pada masa itu, seperti miniatur rumah, atap, dan pendopo dalam beberapa bentuk yang bervariasai, akan tetapi memiliki dasar bentuk yang sama.
2.6.2 Relief Candi
Pada beberapa candi yang terdapat di situs Trowulan memiliki gambaran relief bangunan hunian pada masa itu walaupun dengan berbagai variasi bentuk, tetap saja memiliki konsep dasar bentuk yang sama.
2.6.3 Berdasarkan Sumber Tertulis
Sumber tertulis lebih banyak menceritakan keadaan ibukota kerajaan, Kedaton Majapahit dan lingkungan kerajaan seperti tertulis pada Nagarakrtagama canto 8-12 dibandingkan pemukiman rakyat yang bersifat profan. Beberapa sumber tertulis lainnya hanya menceritakan sekilas tentang pedesaan dan lingkungannya, termasuk didalamnya rumah hunian, antara lain tertulis pada Nagarakertagama, canto 9. 12, dan 58, kakawin Arjunawijaya, sekilas uraian pada canto 22, 25, kakawin Siwaratrikalpa, uraian rumah penduduk pada canto 2, dan beberapa naskah berita Cina Ma Huan. (arkeologi.web.id).


3. PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Bangunan rumah tinggal masyarakat Majapahit kuna di Sektor Sentonorejo yang telah dianalisa dan direkonstruksi merupakan satu bangunan dari kumpulan bangunan yang berada dalam suatu lingkungan pemukiman yang dikelilingi suatu tembok pembatas wilayah kota Majapahit, Trowulan.
Bangunan menghadap ke utara dengan orientasi ke arah timur laut sebesar 10°. Demikian pula dengan seluruh tinggalan arkeologis di Trowulan berorientasi sama secara rapi dan teratur, hanya ada pergeseran antara 8-15°. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Agus Aris Munandar, orientasi keletakkan bangunan masa Hindu-Buddha mengacu pada arah absolut, dalam hal ini sesuai dengan kondisi di Situs Trowulan. Arah orientasi bangunan dan tata kota mengarah pada puncak gunung tertinggi, yaitu gunung Arjuno (3.339m).
Rekonstruksi pada denah atau batur bangunan merupakan ukuran arsitektur yang pasti, sedangkan rekonstruksi pada bentuk bangunan, ukuran, dan bahan material memungkinkan adanya beberapa model bentuk.
Hasil rekonstruksi merupakan rekonstruksi gambar yang diperoleh sesuai kaidah perancangan arsitektur dalam metode analisa arkeologi yang diwujudkan dalam skala 1:1.
3.1.1 Kearifan lokal
Kesan sederhana, alami, harmoni, dan selaras dengan alam dan lingkungannya merupakan kelebihan hasil arsitektur lokal. Sumber daya material bangunan dan peralatan kehidupan manusia pada masa itu menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di daerahnya. Kemampuan untuk memanfaatkan keunggulan tanah di Trowulan membuat situs ini disebut situs terakota. Sebagian besar semua tinggalan bangunan suci maupun profan terbuat dari terakota. Kearifan ini hendaknya dapat menjadi acuan bagi kita untuk mengembangkan keragaman yang khas dalam hal penggunaan bahan material arsitektur pada masing-masing daerah.
Keadaan alam lingkungan pada dataran yang cukup rendah dan landai disikapi dengan membuat sistem jaringan drainase. Jaringan berupa kanal-kanal besar dengan skala makro untuk kota, hingga parit-parit kecil yang mengelilingi rumah-rumah tinggal penduduk sebagai bagian dari skala mikro kota. Diantara rumah-rumah tersebut dilengkapi pula oleh taman-taman air yang terbuat dari perkerasan bata dan batu kerikil dengan berbagai pola.
Kearifan dalam menyikapi keadaan geografi dan topografi, udara yang lembab, kekeringan pada musim panas, serta curah hujan yang tinggi pada musim hujan berpengaruh pada ketinggian lantai bangunan. Lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah asli, disebut batur. Pada sekeliling tepi batur, bata-bata tersusun secara vertikal yang masing-masing diantaranya hanya dilekatkan dengan campuran tanah yang diliatkan, setebal rata-rata 1 cm. Batur diisi dengan tanah yang dipadatkan, kemudian di atasnya disusun lantai dari bata. Bentuk arsitektur ini merupakan bentuk penyelesaian fungsi pondasi dan lantai bangunan secara sederhana. Demikian pula dengan bagian bangunan lainnya seperti dinding yang terbuat dari gedeg, pintu, tiang, dan konstruksi atap dari kayu, serta penutup atap dari terakota atau bahan lain dari tumbuhan dan pepohonan.
3.1.2 Pelestarian vs Kepunahan
Usaha pelestarian di Situs Trowulan yang terus dilakukan oleh pihak-pihak terkait ternyata diimbangi oleh usaha perusakan terhadap tinggalan-tinggalan arkeologis yang masih berada di dalam tanah. Usaha pelestarian dipastikan kalah cepat dengan usaha penduduk mencari nafkah yang membuat industri bata-bata baru dengan bahan baku yang mengandung tinggalan arkeologis. Cepat atau lambat tinggalan masa kerajaan Majapahit di Situs Trowulan akan tergerus terus, bahkan bisa-bisa tak akan tersisa lagi.

DAFTAR REFERENSI



Brown, Percy.(1959). Indian Architecture (Buddhist and Hindu Periods).
Bombay: D.B.Taraporevala Sons & Co. Private Ltd.
Budihardjo, Eko.(1991). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Bernet Kempers, A.J.(1959). Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Der
Peet.
Chihara, Daigoro.(1996). Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia. Studies
in Asian Art and Archaeology Continuation of Studies in South Asian Culture.
Leiden-New York-Koln: E.J.Brill.
Majapahit: Trowulan. (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006)
Munandar, Agus Aris.(2008). Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Munandar, Agus Aris.(2003). Karya Arsitektur dalam Kajian Arkeologi.
Cakrawala Arkeologi (hal. 1-21). Depok: FIB UI.
Mundardjito.(1997). Pemukiman Masa Majapahit di Situs Trowulan, Mojokerto.
Jakarta: FS-UI
Sumadio, Bambang (Penyunting).(1984). Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman
Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar